Ditulis oleh : Dhea Berta Marsella
TUJUHPAGI - Terhitung sejak akhir bulan kedelapan lalu, luapan emosi memenuhi jalan raya sekaligus ruang maya. Teriakan kecewa, seruan protes, hingga sumpah serapah yang bersahutan. Semua lahir dari sebuah pengembaraan yang tak sebagaimana mestinya.
Baca juga: Penjarah Paling Setia
Ada langkah yang semakin berat akibat desakan beban. Ada pula potret kemewahan yang selalu dipampang. Kontras. Mereka yang lapar diminta sabar, sementara yang kenyang semakin kurang ajar.
Besaran pajak rakyat terus merangkak, sedangkan upah tak sebanding dengan kebutuhan. Sebaliknya, wakil rakyat justru mendapati tunjangan yang mencuat hingga Rp50 juta per bulan—hanya untuk hunian.
Ironis. Rakyat mengeja sebutir nasi, wakilnya sibuk menumpuk pundi tiada henti. Upeti rakyat yang semestinya menjadi fasilitas malah berlabuh pada wakil yang bergelimang jauh dari denyut realitas.
Puncak kemarahan semakin tak terbendung ketika terjadi tragedi memilukan: meregangnya nyawa seorang pengembara jalanan yang dipanggil melalui genggaman, akibat keserakahan kendaraan dinas berseragam.
Tak habis pikir. Belum tuntas hal-hal yang dipersoalkan, sudah diperkeruh dengan darah yang ditumpahkan. Luka yang semestinya menyadarkan malah kerap disikapi dingin, seolah nyawa hanya setara dengan angka.
Alih-alih menuruni tangga untuk menyapa gelombang suara, para hamba mandat rakyat memilih melarikan diri melintasi batas negeri. Membuncahkan ledakan amarah di negeri yang konon ramah—dengan wajah utusan yang tak ramah.
Baca juga: Aksi Pro Palestina di Surabaya: Seruan Hentikan Genosida dan Solidaritas Kemanusiaan
Miris. Fakta di lapangan menyingkap jarak lebar antara retorika dan realitas, kesenjangan antara janji dan ketepatannya. Gema kemakmuran dielu-elukan di atas mimbar, tanpa sipu, disuarakan dengan lantang. Namun, aktualitasnya justru menorehkan kekecewaan.
Apa yang terjadi belakangan ini bukan hanya sebatas persoalan kebijakan, melainkan tentang keadilan. Renggang yang semakin lebar antara pejuang di jalanan dengan orang-orang di parlemen yang duduk nyaman.
Amarah tumbuh menjadi bayangan yang memisahkan, sebab retorika tak lagi dibarengi dengan tindakan. Gaungan satu tujuan kini dibiarkan retak oleh kepentingan beberapa orang.
Sebetulnya, ini bukan fenomena baru. Sering kali, jargon tentang kesejahteraan justru berakhir menjadi ketimpangan.
Baca juga: Bentrok Demonstran dan Polisi Warnai Aksi Protes UU TNI di Surabaya
Segeralah berbenah selagi ada kesempatan. Karena itu bukan kelemahan, melainkan sebuah keberanian: menata kembali harapan hidup yang hampir sepenuhnya hilang.
Tanpa itu, setiap ikrar hanya akan menjelma slogan, membuat bangsa menjadi panggung yang dibangun di atas kekenyangan, dipamerkan untuk disaksikan oleh yang kelaparan.
Kembalikan kepercayaan. Itu adalah kewajiban, bukan pilihan. (*)
*Dhea Berta Marsella adalah pembaca tujuhpagi.co
Editor : Ardhia Tap