Elegi Gajah di Tanah yang Kian Gundah

author Dhea

share news
share news

URL berhasil dicopy

share news
Di balik senja yang muram, gajah berdiri sendiri — saksi bisu atas hutan yang kian kehilangan napasnya. (Ilustrasi ai)
Di balik senja yang muram, gajah berdiri sendiri — saksi bisu atas hutan yang kian kehilangan napasnya. (Ilustrasi ai)

i

TUJUHPAGI - Sore itu turun perlahan seperti napas hari yang mulai mereda. Cahaya jingga menetes di antara dedaunan basah; hutan yang dulu megah kini hanya menyisakan gurat luka. Pohon-pohon yang dahulu berdiri gagah rebah tak berdaya, menjadi saksi bisu kerakusan manusia yang tak mengenal jeda. 

Di balik senja yang merapuh, tanah kembali dibelah atas nama pembangunan. Namun yang terdengar hanyalah sunyi hutan yang dicabut jiwanya. Jalan-jalan baru dibuka, rawa dikeringkan, dan rimba yang dulu menjaga dunia disapu habis menjadi hamparan kebun sawit yang seragam rupa. 

Lalu hujan datang sebagai badai tanpa ampun. Air bah menerjang, menyeret segala yang berada di jalurnya — termasuk seekor gajah yang tak pernah meminta apa-apa selain sepetak tanah untuk hidup tanpa derita. Ia terjepit di antara kayu tumbang dan lumpur yang mengunci raganya, seakan alam sendiri menangisi kehilangan yang tak dapat ditebus. 

Betapa ironisnya: manusia menebang rumah para gajah hingga tiada, lalu menuduh mereka mengganggu ketika terpaksa mendekat ke pemukiman. Padahal yang lebih dulu membawa bencana bukanlah makhluk raksasa itu, melainkan tangan manusia yang rakus menjarah dunia. 

Saat gajah diusir dan dihalau seakan mereka gulma, tidakkah sadar bahwa manusialah yang lebih dulu merampas tanah mereka seluruhnya? Jalan hidup gajah kini menyempit — lorong kelam tanpa cahaya. Mereka tersesat di tepi dunia, terpisah dari kawanan, kehilangan arah dan suara. 

Tiada kegilaan lebih tragis daripada manusia yang melukai lalu merasa berhak marah pada makhluk yang disakitinya. Engkau memotong jalur hidup mereka, menghanguskan rumah mereka, merampas udara mereka, lalu berpura-pura terkejut ketika alam menagih harga. 

Namun di balik kehancuran ini, masih ada harapan kecil — selama manusia mau berhenti sejenak, menatap luka yang ia buat, dan belajar kembali berjalan bersama alam, bukan di atasnya. 

Jika semua ini terus berjalan tanpa jeda, akan tiba masanya ketika rimba benar-benar tiada. Suara gajah tinggal mitos, langkahnya hanya dongeng dari masa yang takkan pernah kembali. 

Dan pada hari itu — jika tiba — bukan gajah yang kehilangan dunia, melainkan engkaulah yang kehilangan jiwa. Sebab nuranimu telah lebih dulu binasa, jauh sebelum raksasa rimba itu punah di tanah yang sama. 

Berita Terbaru

You and Everything Else: Tentang Cinta yang Belajar Melepaskan

You and Everything Else: Tentang Cinta yang Belajar Melepaskan

Rabu, 05 Nov 2025 14:49 WIB

Rabu, 05 Nov 2025 14:49 WIB

TUJUHPAGI - Ada film yang tidak sekadar ditonton, tapi dirasakan. Ia menyelinap pelan ke dalam dada, seperti udara dingin di gunung yang menyentuh kulit, lalu…

Nestapa Kali Surabaya, Ruang Hidup yang Terlilit Mikroplastik

Nestapa Kali Surabaya, Ruang Hidup yang Terlilit Mikroplastik

Rabu, 05 Nov 2025 07:58 WIB

Rabu, 05 Nov 2025 07:58 WIB

  TUJUHPAGI - Membayangkan, sungai itu dulu hidup. Airnya jernih, arusnya tenang, dan di tepinya orang menjemur pakaian sambil bercakap-cakap. Tapi kini, Kali …

Ketika Warna dan Tawa Jadi Bahasa Baru untuk Menjaga Kesehatan Mental Anak

Ketika Warna dan Tawa Jadi Bahasa Baru untuk Menjaga Kesehatan Mental Anak

Sabtu, 01 Nov 2025 11:05 WIB

Sabtu, 01 Nov 2025 11:05 WIB

TUJUHPAGI — Di tengah riuh tawa anak-anak yang bermain warna, Fakultas Psikologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) punya cara sendiri merayakan Hari K…

Jalan Panjang Mencari Keadilan

Jalan Panjang Mencari Keadilan

Rabu, 29 Okt 2025 08:53 WIB

Rabu, 29 Okt 2025 08:53 WIB

TUJUHPAGI - “Kebebasan pers adalah kedaulatan rakyat.”  Kalimat itu bukan sekadar hiasan dalam undang-undang. Ia adalah janji negara. Tapi seperti banyak janji …

Lantunan Kesunyian: Menemukan Diri di Tengah Riuh Panggung

Lantunan Kesunyian: Menemukan Diri di Tengah Riuh Panggung

Selasa, 28 Okt 2025 10:03 WIB

Selasa, 28 Okt 2025 10:03 WIB

TUJUHPAGI - Ada yang sunyi di Gedung Cak Durasim malam itu. Tapi kesunyian itu bukan hampa. Ia berdenyut. Ia hidup. Dari gelap panggung, muncul suara dzikir – l…

Perempuan yang Menjahit Cahaya: Kisah Dini Arianti, Penjahit Baju Anabul dari Surabaya

Perempuan yang Menjahit Cahaya: Kisah Dini Arianti, Penjahit Baju Anabul dari Surabaya

Selasa, 21 Okt 2025 07:00 WIB

Selasa, 21 Okt 2025 07:00 WIB

Kisah perempuan Surabaya yang menjahit bukan hanya kain, tapi juga kebahagiaan kecil bagi makhluk berbulu.…