TUJUHPAGI - Sore itu turun perlahan seperti napas hari yang mulai mereda. Cahaya jingga menetes di antara dedaunan basah; hutan yang dulu megah kini hanya menyisakan gurat luka. Pohon-pohon yang dahulu berdiri gagah rebah tak berdaya, menjadi saksi bisu kerakusan manusia yang tak mengenal jeda.
Di balik senja yang merapuh, tanah kembali dibelah atas nama pembangunan. Namun yang terdengar hanyalah sunyi hutan yang dicabut jiwanya. Jalan-jalan baru dibuka, rawa dikeringkan, dan rimba yang dulu menjaga dunia disapu habis menjadi hamparan kebun sawit yang seragam rupa.
Lalu hujan datang sebagai badai tanpa ampun. Air bah menerjang, menyeret segala yang berada di jalurnya — termasuk seekor gajah yang tak pernah meminta apa-apa selain sepetak tanah untuk hidup tanpa derita. Ia terjepit di antara kayu tumbang dan lumpur yang mengunci raganya, seakan alam sendiri menangisi kehilangan yang tak dapat ditebus.
Betapa ironisnya: manusia menebang rumah para gajah hingga tiada, lalu menuduh mereka mengganggu ketika terpaksa mendekat ke pemukiman. Padahal yang lebih dulu membawa bencana bukanlah makhluk raksasa itu, melainkan tangan manusia yang rakus menjarah dunia.
Saat gajah diusir dan dihalau seakan mereka gulma, tidakkah sadar bahwa manusialah yang lebih dulu merampas tanah mereka seluruhnya? Jalan hidup gajah kini menyempit — lorong kelam tanpa cahaya. Mereka tersesat di tepi dunia, terpisah dari kawanan, kehilangan arah dan suara.
Tiada kegilaan lebih tragis daripada manusia yang melukai lalu merasa berhak marah pada makhluk yang disakitinya. Engkau memotong jalur hidup mereka, menghanguskan rumah mereka, merampas udara mereka, lalu berpura-pura terkejut ketika alam menagih harga.
Namun di balik kehancuran ini, masih ada harapan kecil — selama manusia mau berhenti sejenak, menatap luka yang ia buat, dan belajar kembali berjalan bersama alam, bukan di atasnya.
Jika semua ini terus berjalan tanpa jeda, akan tiba masanya ketika rimba benar-benar tiada. Suara gajah tinggal mitos, langkahnya hanya dongeng dari masa yang takkan pernah kembali.
Dan pada hari itu — jika tiba — bukan gajah yang kehilangan dunia, melainkan engkaulah yang kehilangan jiwa. Sebab nuranimu telah lebih dulu binasa, jauh sebelum raksasa rimba itu punah di tanah yang sama.
Editor : Ardhia Tap