You and Everything Else: Tentang Cinta yang Belajar Melepaskan

author Ardhia Tap

share news
share news

URL berhasil dicopy

share news
Salah satu adegan dalam film You and Everything Else, saat kedua sahabat menghabiskan sisa waktu bersama. (Sumber Foto: Netfix)
Salah satu adegan dalam film You and Everything Else, saat kedua sahabat menghabiskan sisa waktu bersama. (Sumber Foto: Netfix)

i

TUJUHPAGI - Ada film yang tidak sekadar ditonton, tapi dirasakan. Ia menyelinap pelan ke dalam dada, seperti udara dingin di gunung yang menyentuh kulit, lalu menetap di sana — menjadi semacam keheningan yang tidak ingin segera pergi. You and Everything Else adalah film yang demikian: lembut, tapi tajam; sunyi, tapi bergema lama di kepala.  

Kim Go-eun dan Park Ji-hyun tidak sedang berakting. Mereka seperti sedang menulis surat panjang kepada seseorang yang pernah mereka cintai, lalu tak sempat mereka ucapkan selamat tinggal.  

Ryu Eun-jung (Go-eun) adalah seorang penulis drama yang hidupnya penuh jeda — perempuan yang terbiasa menulis akhir bahagia untuk orang lain, tapi tak tahu bagaimana menulis akhir bagi dirinya sendiri.  

Cheon Sang-yeon (Ji-hyun) adalah produser film yang kariernya gemilang, tapi tubuhnya perlahan menyerah pada penyakit.  

Mereka bersahabat sejak remaja, lalu terpisah oleh ambisi, oleh waktu, oleh hal-hal kecil yang sering kali lebih kejam dari jarak. Hingga suatu hari, Sang-yeon meminta Eun-jung menemaninya — bukan untuk merayakan hidup, tapi untuk menutupnya dengan tenang. Di Swiss, di antara salju dan lembah yang putih, Sang-yeon ingin mati dengan martabat, sementara Eun-jung belajar bagaimana mencintai tanpa mencoba menahan.  

Film ini tidak berlari. Ia berjalan perlahan, seperti seseorang yang tahu setiap langkahnya berarti. Empat babak disusun dengan hati-hati, seperti lembar catatan yang diselipkan di antara kenangan.  
Di sana, eutanasia bukan lagi isu moral, tapi perenungan eksistensial: apakah manusia berhak memilih kapan ia berhenti menderita?  

Sinematografinya lembut, nyaris seperti doa. Zürich dan Pegunungan Alpen tidak sekadar latar, tapi karakter ketiga — saksi bisu dari dua jiwa yang saling menunggu di tepi waktu. Setiap adegan terasa seperti musim dingin yang panjang: dingin, tapi indah; getir, tapi jujur.  

Tentang Cinta yang Tidak Meminta Balasan  

Netflix memberi rating 18+, bukan karena sensasi, tapi karena keberanian. Film ini menelanjangi emosi manusia tanpa malu-malu: cinta yang tak terucap, iri yang tak diakui, dan persahabatan yang bertahan bahkan setelah tubuh menyerah.  
Go-eun dan Ji-hyun bermain dengan keheningan. Tatapan mereka lebih fasih dari seribu dialog. Kadang, satu helaan napas sudah cukup untuk menjelaskan seluruh bab dalam hidup seseorang.  

“You and Everything Else” bukan sekadar kisah dua sahabat. Ia adalah perjalanan menatap hidup dari tepi kehilangan. Tentang bagaimana manusia berdamai dengan takdir, dan bagaimana cinta bisa tetap hidup bahkan ketika yang dicintai memilih pergi.  

Mungkin setelah menontonnya, kita akan lebih paham: kehilangan bukan akhir, melainkan bentuk paling jujur dari cinta.  
Karena ada kalanya, mencintai berarti berani melepaskan — dan membiarkan seseorang pergi dengan tenang, tanpa perlu menahan, tanpa perlu menangis terlalu lama.  

“You and Everything Else” adalah film yang tidak mengajarkan cara hidup, tapi cara menerima. Dan di situlah, justru, hidup terasa paling manusiawi.

Berita Terbaru

Nestapa Kali Surabaya, Ruang Hidup yang Terlilit Mikroplastik

Nestapa Kali Surabaya, Ruang Hidup yang Terlilit Mikroplastik

Rabu, 05 Nov 2025 07:58 WIB

Rabu, 05 Nov 2025 07:58 WIB

  TUJUHPAGI - Membayangkan, sungai itu dulu hidup. Airnya jernih, arusnya tenang, dan di tepinya orang menjemur pakaian sambil bercakap-cakap. Tapi kini, Kali …

Ketika Warna dan Tawa Jadi Bahasa Baru untuk Menjaga Kesehatan Mental Anak

Ketika Warna dan Tawa Jadi Bahasa Baru untuk Menjaga Kesehatan Mental Anak

Sabtu, 01 Nov 2025 11:05 WIB

Sabtu, 01 Nov 2025 11:05 WIB

TUJUHPAGI — Di tengah riuh tawa anak-anak yang bermain warna, Fakultas Psikologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) punya cara sendiri merayakan Hari K…

Jalan Panjang Mencari Keadilan

Jalan Panjang Mencari Keadilan

Rabu, 29 Okt 2025 08:53 WIB

Rabu, 29 Okt 2025 08:53 WIB

TUJUHPAGI - “Kebebasan pers adalah kedaulatan rakyat.”  Kalimat itu bukan sekadar hiasan dalam undang-undang. Ia adalah janji negara. Tapi seperti banyak janji …

Lantunan Kesunyian: Menemukan Diri di Tengah Riuh Panggung

Lantunan Kesunyian: Menemukan Diri di Tengah Riuh Panggung

Selasa, 28 Okt 2025 10:03 WIB

Selasa, 28 Okt 2025 10:03 WIB

TUJUHPAGI - Ada yang sunyi di Gedung Cak Durasim malam itu. Tapi kesunyian itu bukan hampa. Ia berdenyut. Ia hidup. Dari gelap panggung, muncul suara dzikir – l…

Perempuan yang Menjahit Cahaya: Kisah Dini Arianti, Penjahit Baju Anabul dari Surabaya

Perempuan yang Menjahit Cahaya: Kisah Dini Arianti, Penjahit Baju Anabul dari Surabaya

Selasa, 21 Okt 2025 07:00 WIB

Selasa, 21 Okt 2025 07:00 WIB

Kisah perempuan Surabaya yang menjahit bukan hanya kain, tapi juga kebahagiaan kecil bagi makhluk berbulu.…

Ageno dan Bahasa yang Akhirnya Menemukan Suaranya

Ageno dan Bahasa yang Akhirnya Menemukan Suaranya

Minggu, 19 Okt 2025 12:00 WIB

Minggu, 19 Okt 2025 12:00 WIB

TUJUHPAGI - Malang Autism Center (MAC), memiliki sebuah ruang terapi bernuansa lembut. Di sana, seorang anak bernama Ageno belajar berbicara. Bukan sekadar…