Ketika Warna dan Tawa Jadi Bahasa Baru untuk Menjaga Kesehatan Mental Anak

author Ardhia Tap

share news
share news

URL berhasil dicopy

share news
Dari kuas kecil itu, anak-anak belajar menyembuhkan diri. (Sumber Foto : Ardhia Tap)
Dari kuas kecil itu, anak-anak belajar menyembuhkan diri. (Sumber Foto : Ardhia Tap)

i

TUJUHPAGI — Di tengah riuh tawa anak-anak yang bermain warna, Fakultas Psikologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) punya cara sendiri merayakan Hari Kesehatan Mental. Bukan seminar. Bukan pula lomba pidato. Tapi lewat kuas, cat, dan permainan tradisional. 

Melalui Pusat Studi Tumbuh Kembang Anak, UNESA . Sebuah unit kecil di bawah Fakultas Psikologi yang punya misi besar: membantu orang tua mengoptimalkan tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun psikologis. 

“Pusat studi ini berbasis keilmuan. Kami ingin teori-teori psikologi tidak berhenti di ruang kuliah, tapi hidup di tengah masyarakat,” ujar Dr. Diana Rahmasari, S.Psi., M.Si., Dekan Fakultas Psikologi Unesa. 

Kegiatan kali ini diikuti sekitar 200 peserta. Mereka datang dari berbagai sekolah dasar inklusi di Surabaya. Anak-anak disabilitas dan anak-anak atipikal duduk, bermain, dan melukis bersama. Tidak ada sekat. Tidak ada perbedaan. 

Unesa menyebutnya kolaborasi inklusif. Sebuah konsep yang menekankan empati dan kebersamaan. “Kami ingin anak-anak atipikal belajar memahami teman-teman disabilitasnya. Dari situ, tumbuh empati dan rasa saling menghargai,” kata Diana. 

Seni dijadikan media terapi. Warna-warna di atas kanvas menjadi bahasa emosi. Anak-anak menumpahkan rasa bahagia, sedih, bahkan cemas — bukan lewat kata-kata, tapi lewat goresan. “Dengan mengekspresikan emosi lewat warna, anak-anak belajar mengenali dan menyalurkan perasaan mereka. Emosi negatif bisa keluar, lalu digantikan emosi positif,” jelasnya. 

Lewat goresan warna di atas kanvas, mereka menumpahkan rasa—tentang bahagia, tentang tenang, tentang menjadi diri sendiri.Lewat goresan warna di atas kanvas, mereka menumpahkan rasa—tentang bahagia, tentang tenang, tentang menjadi diri sendiri.

Setelah melukis, mereka bermain permainan tradisional. Masih fun, tapi juga menyehatkan. “Kami ingin kegiatan ini tidak hanya menyentuh aspek psikologis, tapi juga fisik. Jadi, ada unsur olahraga, seni, dan kebersamaan,” tambahnya. 

Warna yang dipilih anak-anak, kata Diana, sering kali mencerminkan kondisi emosional mereka. Namun, ia menegaskan, tidak semua warna gelap berarti depresi. “Itu butuh asesmen lebih lanjut. Warna hanyalah ekspresi, bukan diagnosis,” ujarnya sambil tersenyum. 

 

Warna-warna itu bukan sekadar cat. Ada yang menumpahkan gembira, ada yang menyembunyikan resah. Dari kuas kecil di tangan mereka, kita belajar: anak-anak punya cara sendiri untuk bercerita—tanpa kata, tapi jujur sekali. (Sumber Foto: Atap)Warna-warna itu bukan sekadar cat. Ada yang menumpahkan gembira, ada yang menyembunyikan resah. Dari kuas kecil di tangan mereka, kita belajar: anak-anak punya cara sendiri untuk bercerita—tanpa kata, tapi jujur sekali. (Sumber Foto: Atap)

Di akhir kegiatan, Diana menyampaikan terima kasih kepada guru, panitia, dan semua pihak yang terlibat. Ia berharap kegiatan semacam ini tidak berhenti di sini. “Ini bagian dari komitmen kami untuk mendukung kesehatan mental dan disabilitas inklusif di Indonesia,” tutupnya. 

Dan di antara tumpahan warna-warni di atas kanvas itu, mungkin memang di sanalah kebahagiaan anak-anak itu sedang tumbuh — diam-diam, tapi pasti.

Berita Terbaru

Jalan Panjang Mencari Keadilan

Jalan Panjang Mencari Keadilan

Rabu, 29 Okt 2025 08:53 WIB

Rabu, 29 Okt 2025 08:53 WIB

TUJUHPAGI - “Kebebasan pers adalah kedaulatan rakyat.”  Kalimat itu bukan sekadar hiasan dalam undang-undang. Ia adalah janji negara. Tapi seperti banyak janji …

Lantunan Kesunyian: Menemukan Diri di Tengah Riuh Panggung

Lantunan Kesunyian: Menemukan Diri di Tengah Riuh Panggung

Selasa, 28 Okt 2025 10:03 WIB

Selasa, 28 Okt 2025 10:03 WIB

TUJUHPAGI - Ada yang sunyi di Gedung Cak Durasim malam itu. Tapi kesunyian itu bukan hampa. Ia berdenyut. Ia hidup. Dari gelap panggung, muncul suara dzikir – l…

Perempuan yang Menjahit Cahaya: Kisah Dini Arianti, Penjahit Baju Anabul dari Surabaya

Perempuan yang Menjahit Cahaya: Kisah Dini Arianti, Penjahit Baju Anabul dari Surabaya

Selasa, 21 Okt 2025 07:00 WIB

Selasa, 21 Okt 2025 07:00 WIB

Kisah perempuan Surabaya yang menjahit bukan hanya kain, tapi juga kebahagiaan kecil bagi makhluk berbulu.…

Ageno dan Bahasa yang Akhirnya Menemukan Suaranya

Ageno dan Bahasa yang Akhirnya Menemukan Suaranya

Minggu, 19 Okt 2025 12:00 WIB

Minggu, 19 Okt 2025 12:00 WIB

TUJUHPAGI - Malang Autism Center (MAC), memiliki sebuah ruang terapi bernuansa lembut. Di sana, seorang anak bernama Ageno belajar berbicara. Bukan sekadar…

Menapaki Jejak Kecil Koesno  

Menapaki Jejak Kecil Koesno  

Sabtu, 11 Okt 2025 12:43 WIB

Sabtu, 11 Okt 2025 12:43 WIB

TUJUHPAGI - Kota Blitar memiliki pesonanya sendiri. Di jantung kota itu, berdiri sebuah rumah bergaya kolonial di Jalan Sultan Agung No. 59, Kecamatan…

Golf Dunia di Dalam Ruangan Surabaya  

Golf Dunia di Dalam Ruangan Surabaya  

Jumat, 26 Sep 2025 12:16 WIB

Jumat, 26 Sep 2025 12:16 WIB

TUJUHPAGI -  Saya kira golf itu hanya bisa dimainkan di lapangan luas. Rumput hijau, angin sepoi, dan—tentu saja—matahari. Tapi kemarin saya salah. Ternyata gol…