TUJUHPAGI - “Kebebasan pers adalah kedaulatan rakyat.” Kalimat itu bukan sekadar hiasan dalam undang-undang. Ia adalah janji negara. Tapi seperti banyak janji lainnya, sering kali hanya berhenti di kertas.
Sudah enam bulan berlalu sejak Rama Indra Surya Permana, jurnalis Beritajatim.com, melapor ke polisi. Ia dipukul, diintimidasi, dan dipaksa menghapus rekaman saat meliput aksi penolakan RUU TNI di Surabaya. Ia sudah berteriak: “Saya wartawan!” Tapi tangan-tangan yang seharusnya melindungi, justru menghantam.
Rama bukan sedang mencari sensasi. Ia hanya menjalankan tugas: merekam apa yang terjadi di lapangan. Tapi kamera yang merekam kebenaran ternyata lebih menakutkan daripada batu di tangan demonstran.
Laporan Rama diterima di Polda Jawa Timur pada 25 Maret 2025. Nomor laporannya: LP/B/438/III/2025/SPKT/Polda Jawa Timur. Tapi setelah itu, kasusnya dilimpahkan ke Polrestabes Surabaya—dan berhenti di sana.
Tak ada kabar. Tak ada perkembangan. Seolah-olah hukum ikut diam.
Salawati, pendamping hukum dari Komite Advokasi Jurnalis (KAJ) Jawa Timur, sudah berkali-kali menanyakan. Jawabannya selalu sama: “Masih diproses.”
Padahal, enam bulan bukan waktu yang sebentar untuk sekadar “memproses”.
“Kami sangat keberatan karena terkesan perkara ini diabaikan dan adanya indikasi Polrestabes Surabaya menutupi kejadian ini dan menghindari penegakan hukum pidana atas oknum polisi terduga pelaku," kata Salawati.
Rama masih ingat betul malam itu. Bibirnya robek. Pelipisnya baret. Kepalanya benjol. Punggungnya memar. Tapi luka yang paling dalam bukan di tubuhnya.
Luka itu ada di rasa keadilannya.
“Sehingga ke depannya tidak ada lagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan seperti apa yang saya alami," kata Rama.
Redaksi Beritajatim.com berdiri di belakangnya. “Kami memberikan support mas Rama mencari keadilan," ujar Nyucik Asih, perwakilan redaksi.
Tapi dukungan moral saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah keberanian hukum.
Salawati, pendamping hukum dari Komite Advokasi Jurnalis (KAJ) Jawa Timur, memberikan keterangan dalam konferensi pers terkait pendampingan kasus jurnalis. Salawati, pendamping hukum dari Komite Advokasi Jurnalis (KAJ) Jawa Timur, memberikan keterangan dalam konferensi pers terkait pendampingan kasus jurnalis. (Sumber Foto:KAJ)
Negeri ini punya banyak undang-undang. Tapi undang-undang tidak bisa berjalan sendiri. Ia butuh kaki: aparat yang jujur, penegak hukum yang berani, dan publik yang peduli. Tanpa itu, keadilan hanya akan menjadi kata yang letih.
KAJ Jawa Timur kini mendesak Polda Jawa Timur untuk mengambil alih penanganan kasus Rama. Bukan hanya untuk Rama, tapi untuk semua jurnalis yang masih percaya bahwa menulis kebenaran bukan kejahatan.
Kebebasan pers tidak akan hilang karena satu kasus kekerasan. Tapi setiap kali kasus seperti ini dibiarkan, sepotong kecil dari kebebasan itu ikut mati.
Dan jika dibiarkan terus, lama-lama yang tersisa hanyalah kebebasan untuk diam.
Komite Advokasi Jurnalis (KAJ) Jawa Timur merupakan inisiatif masyarakat sipil dan organisasi profesi jurnalis untuk secara bersama- sama mengadvokasi kasus kekerasan, sengketa ketenagakerjaan, dan memperjuangkan kemerdekaan pers di Jawa Timur. KAJ Jatim beranggotakan KontraS Surabaya, LBH Lentera, Komsa FH IKA Ubaya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, AJI Malang, AJI Jember, AJI Bojonegoro, dan AJI Kediri. (RR)
Editor : Ardhia Tap