TUJUHPAGI - Nama Romo Francesco Lugano bukan sekadar tercatat dalam buku sejarah kecil masyarakat pesisir Prigi. Ia melekat. Menjadi ingatan yang tidak pernah lekang.
Pastor asal Genoa, Italia, itu datang jauh-jauh ke Trenggalek. Bukan hanya untuk berkhotbah. Bukan hanya untuk memimpin misa. Tapi untuk hidup bersama nelayan.
Ia melihat laut. Ia melihat perahu-perahu reyot. Ia melihat wajah-wajah nelayan yang kalah sebelum berangkat melaut. Lalu ia memilih: tidak cukup hanya berdoa. Ia ikut bekerja. Ia ikut mengubah.
Dari Genoa ke Trenggalek
Romo Lugano lahir dan besar di Genoa, sebuah kota pelabuhan di Italia. Latar belakangnya sebagai anak pesisir membuatnya peka terhadap kehidupan nelayan di manapun ia berada.
Ketika ditempatkan di Trenggalek, ia menemukan kondisi nelayan yang masih serba tradisional dan penuh keterbatasan. Dari situlah ia tergerak untuk memberikan perubahan nyata.
Salah satu jejak paling nyata Romo Lugano di Prigi: jaring slerek.
Ia memperkenalkan cara itu. Menangkap ikan dengan memutari gerombolan di laut, lalu menebarkan jaring besar untuk mengurungnya. Sederhana. Tapi revolusioner bagi nelayan Prigi waktu itu.
Sebelum ada slerek, mereka hanya mengandalkan cara lama. Perahu kecil. Jaring seadanya. Hasilnya pun terbatas. Sekadar cukup untuk hidup hari itu. Tidak lebih.
Ketua Paguyuban Mitra Karya Samodra, Soekarno. (Foto: Robertus Risky)
Lalu datang slerek. Produktivitas melonjak. Perahu-perahu slerek mulai memenuhi Teluk Prigi. Hingga kini, puluhan tahun kemudian, perahu itu masih jadi ikon. Masih jadi kebanggaan.
“Berkat Romo Lugano, nelayan sekarang merasakan manfaatnya. Dulu tradisional, sekarang lebih modern. Hasil tangkapan bertambah. Ekonomi masyarakat ikut membaik,” kata Soekarno, Ketua Paguyuban Nelayan Mitra Karya Samodra.
Romo Lugano memang sudah tiada. Tapi setiap kali perahu slerek berangkat, setiap kali jaring ditarik penuh ikan, nama itu kembali hidup di laut Prigi.
Warisan Sosial: Koperasi PPCU
Namun perjuangan Romo Lugano tidak berhenti di laut. Ia juga memikirkan darat. Bagaimana nelayan bisa hidup lebih tenang setelah pulang melaut. Bagaimana mereka tidak lagi terjerat tengkulak.
Maka lahirlah Pantai Prigi Credit Union (PPCU). Sebuah koperasi. Tempat nelayan bisa menabung. Bisa meminjam modal. Bisa mengatur uang dengan lebih rapi. Hingga kini, koperasi itu masih hidup. Masih jadi penopang ekonomi pesisir.
Keteladanan Lintas Agama
Romo Lugano seorang pastor. Tapi ia tidak pernah membawa misi agama dalam kerja sosialnya. Justru sebaliknya. Ia menepis semua stigma dengan ketulusan. Ia membantu siapa saja. Tanpa bertanya agamanya. Tanpa peduli suku atau rasnya.
“Dulu warga sempat takut ada misi kristenisasi. Ternyata tidak. Beliau malah membantu semua orang tanpa melihat latar belakang,” kenang Soekarno.
Karena itu ia dihormati. Tidak hanya oleh umatnya. Tapi oleh semua orang. Romo Lugano dikenang bukan karena jubahnya. Tapi karena kerja nyatanya. Karena ketulusan hatinya.
Warisan yang Tak Pernah Hilang
Kini, meski Romo Lugano telah tiada, semangatnya tetap hidup di tengah masyarakat. Perahu slerek yang berjejer di Teluk Prigi, koperasi PPCU yang masih berjalan, hingga cerita-cerita hangat warga menjadi bukti bahwa ketulusan mampu melampaui batas waktu.
Bagi nelayan Prigi, Romo Lugano bukan sekadar pastor, melainkan pahlawan kemanusiaan yang mengabdikan hidupnya untuk laut, nelayan, dan kemanusiaan. (RR)
Editor : Ardhia Tap