Romo Lugano: Datang Sebagai Pastor, Hidup Sebagai Nelayan, Dikenang Sebagai Pahlawan.

author Robertus Riski

share news
share news

URL berhasil dicopy

share news
Deretan perahu slerek di Pantai Prigi. Berkat inovasi Romo Lugano, cara tangkap ikan tradisional berubah menjadi lebih modern dan produktif. (Sumber Foto: Robertus Risky)
Deretan perahu slerek di Pantai Prigi. Berkat inovasi Romo Lugano, cara tangkap ikan tradisional berubah menjadi lebih modern dan produktif. (Sumber Foto: Robertus Risky)

i

TUJUHPAGI - Nama Romo Francesco Lugano bukan sekadar tercatat dalam buku sejarah kecil masyarakat pesisir Prigi. Ia melekat. Menjadi ingatan yang tidak pernah lekang.

Pastor asal Genoa, Italia, itu datang jauh-jauh ke Trenggalek. Bukan hanya untuk berkhotbah. Bukan hanya untuk memimpin misa. Tapi untuk hidup bersama nelayan.

Ia melihat laut. Ia melihat perahu-perahu reyot. Ia melihat wajah-wajah nelayan yang kalah sebelum berangkat melaut. Lalu ia memilih: tidak cukup hanya berdoa. Ia ikut bekerja. Ia ikut mengubah.

Dari Genoa ke Trenggalek 

Romo Lugano lahir dan besar di Genoa, sebuah kota pelabuhan di Italia. Latar belakangnya sebagai anak pesisir membuatnya peka terhadap kehidupan nelayan di manapun ia berada.

Ketika ditempatkan di Trenggalek, ia menemukan kondisi nelayan yang masih serba tradisional dan penuh keterbatasan. Dari situlah ia tergerak untuk memberikan perubahan nyata. 

Salah satu jejak paling nyata Romo Lugano di Prigi: jaring slerek. 

Ia memperkenalkan cara itu. Menangkap ikan dengan memutari gerombolan di laut, lalu menebarkan jaring besar untuk mengurungnya. Sederhana. Tapi revolusioner bagi nelayan Prigi waktu itu.

Sebelum ada slerek, mereka hanya mengandalkan cara lama. Perahu kecil. Jaring seadanya. Hasilnya pun terbatas. Sekadar cukup untuk hidup hari itu. Tidak lebih. 

 

Ketua Paguyuban Mitra Karya Samodra, Soekarno. (Foto: Robertus Risky)Ketua Paguyuban Mitra Karya Samodra, Soekarno. (Foto: Robertus Risky)

Lalu datang slerek. Produktivitas melonjak. Perahu-perahu slerek mulai memenuhi Teluk Prigi. Hingga kini, puluhan tahun kemudian, perahu itu masih jadi ikon. Masih jadi kebanggaan. 

“Berkat Romo Lugano, nelayan sekarang merasakan manfaatnya. Dulu tradisional, sekarang lebih modern. Hasil tangkapan bertambah. Ekonomi masyarakat ikut membaik,” kata Soekarno, Ketua Paguyuban Nelayan Mitra Karya Samodra. 

Romo Lugano memang sudah tiada. Tapi setiap kali perahu slerek berangkat, setiap kali jaring ditarik penuh ikan, nama itu kembali hidup di laut Prigi. 

Warisan Sosial: Koperasi PPCU 

Namun perjuangan Romo Lugano tidak berhenti di laut. Ia juga memikirkan darat. Bagaimana nelayan bisa hidup lebih tenang setelah pulang melaut. Bagaimana mereka tidak lagi terjerat tengkulak.

Maka lahirlah Pantai Prigi Credit Union (PPCU). Sebuah koperasi. Tempat nelayan bisa menabung. Bisa meminjam modal. Bisa mengatur uang dengan lebih rapi. Hingga kini, koperasi itu masih hidup. Masih jadi penopang ekonomi pesisir.

Keteladanan Lintas Agama 

Romo Lugano seorang pastor. Tapi ia tidak pernah membawa misi agama dalam kerja sosialnya. Justru sebaliknya. Ia menepis semua stigma dengan ketulusan. Ia membantu siapa saja. Tanpa bertanya agamanya. Tanpa peduli suku atau rasnya. 

“Dulu warga sempat takut ada misi kristenisasi. Ternyata tidak. Beliau malah membantu semua orang tanpa melihat latar belakang,” kenang Soekarno. 

Karena itu ia dihormati. Tidak hanya oleh umatnya. Tapi oleh semua orang. Romo Lugano dikenang bukan karena jubahnya. Tapi karena kerja nyatanya. Karena ketulusan hatinya. 

Warisan yang Tak Pernah Hilang 

Kini, meski Romo Lugano telah tiada, semangatnya tetap hidup di tengah masyarakat. Perahu slerek yang berjejer di Teluk Prigi, koperasi PPCU yang masih berjalan, hingga cerita-cerita hangat warga menjadi bukti bahwa ketulusan mampu melampaui batas waktu. 

Bagi nelayan Prigi, Romo Lugano bukan sekadar pastor, melainkan pahlawan kemanusiaan yang mengabdikan hidupnya untuk laut, nelayan, dan kemanusiaan. (RR)

Berita Terbaru

PHK Menghantam, Tembakau Kian Muram

PHK Menghantam, Tembakau Kian Muram

Rabu, 10 Sep 2025 08:15 WIB

Rabu, 10 Sep 2025 08:15 WIB

Ditulis oleh : Hananto Wibisono TUJUH PAGI - PHK menghantam, tembakau kian muram.Ribuan pekerja kehilangan penghidupan, sementara industri yang dulu berjaya…

 Ayah yang Kehilangan Alasannya Bangun Pagi  

 Ayah yang Kehilangan Alasannya Bangun Pagi  

Selasa, 09 Sep 2025 18:43 WIB

Selasa, 09 Sep 2025 18:43 WIB

TUJUH PAGI – Di balik berita dingin tentang mutilasi sadis Tiara Angelina Saraswati, ada satu wajah yang hancur: Setiawan Darmadi.   Bagi dunia, Tiara ha…

Latihan yang Tidak Pernah Usai

Latihan yang Tidak Pernah Usai

Selasa, 09 Sep 2025 18:21 WIB

Selasa, 09 Sep 2025 18:21 WIB

Latihan Tak Pernah Usai: Brigif 2 Marinir Puslatpurmar 4 Purboyo Siap Hadapi Ancaman…

Ibu Pertiwi yang Bukan Pertiwi

Ibu Pertiwi yang Bukan Pertiwi

Senin, 08 Sep 2025 17:04 WIB

Senin, 08 Sep 2025 17:04 WIB

Bahwa "Ibu Pertiwi" ternyata bukan ibu kita. Tapi sudah kita anggap ibu sendiri.…

Ledakan Amarah di Negeri yang Katanya Ramah

Ledakan Amarah di Negeri yang Katanya Ramah

Minggu, 07 Sep 2025 21:43 WIB

Minggu, 07 Sep 2025 21:43 WIB

Ditulis oleh : Dhea Berta Marsella   TUJUHPAGI - Terhitung sejak akhir bulan kedelapan lalu, luapan emosi memenuhi jalan raya sekaligus ruang maya. Teriakan …

Kebun Binatang Surabaya: Ikon Sejarah yang Menunggu Nasibnya

Kebun Binatang Surabaya: Ikon Sejarah yang Menunggu Nasibnya

Sabtu, 06 Sep 2025 19:19 WIB

Sabtu, 06 Sep 2025 19:19 WIB

  Tujuhpagi - Di tengah riuh Surabaya yang terus berlari, Kebun Binatang Surabaya berdiri seperti ingatan yang enggan dilupakan. Kebun Binatang Surabaya …