Ditulis oleh : Hananto Wibisono
TUJUH PAGI - PHK menghantam, tembakau kian muram.
Ribuan pekerja kehilangan penghidupan, sementara industri yang dulu berjaya kini goyah di tengah perubahan zaman. Di balik angka-angka statistik, ada wajah-wajah yang terhapus dari daftar gaji. Pertanyaannya: apakah ini sekadar siklus bisnis, atau tanda bahwa ekosistem tembakau sedang menuju senjakala?
Satu demi satu pabrik tembakau meredup, meninggalkan jejak luka di wajah para buruh. Puluhan tahun mereka menghidupi industri, kini mereka justru ditinggalkan di tikungan krisis.
Siapa yang benar-benar diuntungkan ketika ribuan orang kehilangan pekerjaan, sementara keuntungan masih terus dipanen segelintir tangan?
Gelombang PHK di PT Gudang Garam Tbk bukan sekadar angka di laporan, tapi luka yang nyata bagi ribuan pekerja. Bukan hanya nasib yang terenggut, ini juga alarm keras bagi masa depan ekosistem tembakau Indonesia.
Video viral perpisahan penuh haru para karyawan Gudang Garam bukan sekadar potret kehilangan pekerjaan. Ia adalah simbol runtuhnya ikatan emosional yang selama puluhan tahun terjalin antara pekerja dan perusahaan yang mereka anggap keluarga.
Fenomena ini jelas bukan persoalan internal satu perusahaan belaka. Ia adalah cermin krisis struktural yang tengah mengguncang industri tembakau nasional.
Sejumlah faktor menjadi pemicu. Kenaikan cukai yang terus berulang menekan daya beli, memaksa konsumen beralih ke produk lebih murah, bahkan ke pasar gelap.
Regulasi kian ketat. Terbitnya PP No. 28 Tahun 2024 tentang produk olahan tembakau menambah beban: iklan dibatasi, peringatan bergambar diwajibkan, distribusi dipersempit.
Di saat yang sama, selera konsumen berubah. Pasar rokok konvensional makin terdesak, ruang geraknya menyempit.
Dalam situasi ini, pemerintah tak bisa hanya berdiri sebagai regulator yang menambah beban. Ia harus hadir sebagai penyeimbang, yang melindungi pekerja tanpa sekaligus mematikan industri.
Kehadiran negara justru dituntut lebih aktif. Penegakan hukum atas rokok ilegal harus diperkuat, karena ia bukan hanya merugikan penerimaan negara, tapi juga menggerus industri yang sah.
Perlindungan bagi petani tembakau dan pekerja linting—tulang punggung ekosistem ini—harus menjadi prioritas, bukan sekadar retorika.
Ekosistem tembakau Indonesia kini berada di persimpangan. Di satu sisi, ia menopang jutaan pekerja, petani, dan keluarga mereka. Di sisi lain, ia terhimpit regulasi, perubahan selera, dan ancaman pasar gelap.
Kehadiran negara justru dituntut lebih aktif. Penegakan hukum atas rokok ilegal harus diperkuat, karena ia bukan hanya merugikan penerimaan negara, tapi juga menggerus industri yang sah.
Perlindungan bagi petani tembakau dan pekerja linting—tulang punggung ekosistem ini—harus menjadi prioritas, bukan sekadar retorika.
Ekosistem tembakau Indonesia kini berada di persimpangan. Di satu sisi, ia menopang jutaan pekerja, petani, dan keluarga mereka. Di sisi lain, ia terhimpit regulasi, perubahan selera, dan ancaman pasar gelap.
Di sisi lain, industri ini terus terhimpit: regulasi yang menekan, pasar yang berubah, dan serbuan produk ilegal yang kian merajalela. Krisis ini seharusnya dibaca sebagai momentum untuk merumuskan solusi yang berkelanjutan.
Dialog antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil harus digalakkan. Bukan sekadar mencari kompromi, tapi melahirkan kebijakan yang menjaga stabilitas ekonomi sekaligus melindungi kesejahteraan pekerja dan petani.
Tanpa langkah kolektif yang nyata, gelombang PHK di Gudang Garam hanyalah awal dari krisis yang lebih luas.
Dan jika itu terjadi, yang hilang bukan sekadar pekerjaan. Yang terancam adalah keberlangsungan sebuah ekosistem yang selama puluhan tahun menjadi denyut ekonomi bangsa. (*)
*Hananto Wibisono , Pemerhati Ekosistem Tembakau Indonesia
Editor : Redaksi