TUJUHPAGI.COM - Kerusuhan itu memuncak. Malam yang panas di Surabaya berubah jadi malam api. Gedung terbakar. Asap menutup langit. Orang-orang berteriak. Ada yang melempar batu. Ada yang menendang pintu. Ada pula yang hanya berlari tanpa arah.
Target kali ini bukan toko. Bukan minimarket. Bukan pula gudang logistik. Massa menyerbu kantor polisi.
Kantor yang biasanya tegak, gagah, simbol negara, malam itu runtuh wibawanya. Pagar jebol. Jendela pecah. Kursi dilempar ke jalan. Lemari dibongkar. Arsip bertebaran.
Dan di saat semua orang sibuk menjarah ada yang menggotong helm polisi, ada yang mengambil tongkat rotan, bahkan ada yang nekat menarik kursi kerja muncullah satu sosok yang justru berbeda.
RD, begitu ia memperkenalkan diri. Tidak lengkap. Hanya inisial.
Tubuhnya kurus. Menggunakan jaket hitam dan memakai pelindung kepala. Tapi matanya menatap lurus. Tangannya memeluk sesuatu yang tidak diincar siapa pun: bingkai foto.
Bukan foto pahlawan. Bukan juga foto lambang negara. Melainkan foto Presiden Prabowo bersama Wakil Presiden Gibran.Kobaran api melahap Pos Polisi Tegal Sari, Surabaya, usai dirusak massa anarkis pada Sabtu malam (30/8/2025). (Sumber Foto : Julian)
RD mengangkat foto itu tinggi-tinggi. Ia melangkah keluar kantor polisi dengan wajah teguh.
Saya mendekat. Bertanya kenapa ia tidak mengambil barang lain. Mengapa bukan komputer, bukan motor dinas, bukan senjata sitaan yang katanya juga ada di ruangan itu.
Jawabnya sederhana. Bahkan terlalu sederhana: “Ini presidenku.”
Saya tercekat.
Dalam suasana kacau begitu, di tengah kerumunan orang yang rakus memburu barang-barang bernilai, ada seorang RD yang justru mengincar simbol.
Foto itu bukan benda mahal. Tidak bisa dijual. Tidak bisa ditukar dengan makanan. Bahkan orang mungkin menganggapnya tidak ada gunanya.
Tapi RD memilih itu.
Apakah itu tanda kesetiaan politik? Atau sekadar spontanitas di tengah amuk massa? Kita tidak tahu.
Namun jelas, RD ingin menunjukkan identitasnya. Bahwa di tengah api dan kerusuhan, ia masih ingin mengatakan: inilah presidenku, inilah wakilku.
Orang lain menjarah untuk perut. Ia menjarah untuk hati.
Mungkin bagi banyak orang RD tampak konyol. Tapi justru karena itu, kisahnya unik. Dari puluhan orang yang menjarah malam itu, hanya satu yang membawa pulang cerita yang akan tetap diingat.
Saya bisa membayangkan bertahun-tahun nanti. Orang akan lupa siapa yang menjarah helm polisi, siapa yang menggotong kursi, siapa yang merusak kaca.
Tapi orang akan tetap mengingat ada seorang RD yang keluar dari kantor polisi sambil mengangkat bingkai foto presiden.
Kerusuhan selalu meninggalkan luka. Tapi juga kadang, meninggalkan anekdot.
Dan anekdot itu adalah RD.
Editor : Romadona