Rujak Cingur: Aroma Tradisi di Tengah Deru Kota

author Ardhia

share news
share news

URL berhasil dicopy

share news

Bagian hidung sapi yang menjadi salah satu bahan utama dalam rujak cingur. Cingur biasanya direbus hingga empuk dan kemudian dipotong-potong sebelum dicampur dengan bahan lainnya dalam hidangan. Teksturnya kenyal dan memberikan cita rasa khas pada rujak cingur. (Sumber Foto: Robertus Riski)


Tujuhpagi.com – Jika anda mencari pengalaman kuliner Surabaya yang autentik dan menggugah selera, rujak cingur mungkin salah satunya. Di tengah riuhnya Jalan Dupak Raya, Surabaya, aroma petis dan kacang sangrai menari-nari di udara, menuntun langkah siapa saja yang rindu pada cita rasa masa lalu.

Di bawah payung warna-warni yang setia menaungi, Masturoh (48) melanjutkan warisan ibunya—bukan berupa harta, tanah, atau tahta, melainkan sajian rujak cingur yang menyimpan kenangan dan perjuangan.

Setiap hari, mulai pukul 11.00 hingga senja menutup hari, Masturoh meracik rujak cingur di seberang Pusat Grosir Surabaya (PGS).

“Dulu awalnya bantu-bantu ibu jualan rujak, terus ibu sakit karena tua. Saya disuruh terusin,” kisah Masturoh, matanya menerawang seperti menjemput kembali masa-masa itu.

Gerobak sederhana menjadi saksi bisu, bagaimana tangan-tangan terampilnya melumat kacang, cabai, dan petis dalam cobek, menciptakan perpaduan rasa yang tak lekang oleh waktu.

Apa yang Membuat Rujak Cingur Istimewa?

Cingur—hidung sapi yang direbus hingga empuk—menjadi bintang utama. Bersanding dengan sayuran segar, tempe, tahu, bendoyo (timun rebus), lontong, dan buah-buahan, semuanya disiram bumbu kacang dan petis Madura serta petis Jawa, yang masing-masing membawa aroma laut dan sungai ke dalam satu piring.

Rujak cingur, merupakan makanan khas Jawa Timur dengan olahan kacang, petis dan sayuran. Hidung sapi atau cingur, ditambahkan untuk memberikan sensasi rasa yang lebih unik. (Sumber Foto: Robertus Riski)

“Bikin beda petisnya. Bumbu kacang terasa, cingurnya enak, porsinya juga banyak,” ujar Evita Tuita, pelanggan setia selama tiga tahun.

Harga seporsi rujak cingur Masturoh pun bersahabat, mulai dari Rp15.000 hingga Rp25.000, tergantung permintaan cingur dari pelanggan.

Ada dua jenis rujak cingur yang ditawarkan: matengan (sayur-sayuran, tempe, tahu, bendoyo, lontong, cingur) dan campur, yang menambahkan buah-buahan sebagai kejutan rasa di setiap suapan.

Rejeki Tak Kemana

Kemacetan dan hiruk-pikuk kota menjadi latar perjuangan Masturoh. Ia pernah harus berpindah tempat, dikejar Satpol PP, beradaptasi di tengah kerasnya kota. “Dulu di depan PGS, sering diobrak Satpol PP, terus pindah seberang jalan. Kejar-kejaran,” kenangnya, tersenyum getir. Namun, rezeki tak pernah salah alamat. Jika ramai pembeli, ia bisa membawa pulang hingga Rp800.000 sehari.

Pelanggan Masturoh datang dari berbagai penjuru, tak hanya Surabaya, tetapi juga Jakarta, Semarang, dan kota-kota lain. Mereka mencari bukan sekadar makanan, tetapi juga sepotong nostalgia dan kehangatan tradisi yang semakin langka.

Rujak Cingur di Tengah Gempuran Zaman

Di era makanan cepat saji dan instan yang merajalela, rujak cingur tetap bertahan sebagai menu favorit di lidah para pencintanya. “Ini makanan favorit, dulu sering beli di ibunya, Bu Masturoh. Saya pesannya rujak campur,” kata Evita, menegaskan bahwa tradisi tak mudah dikalahkan oleh tren.

Namun, ada kegelisahan yang samar. Fenomena makanan instan di kalangan generasi muda menciptakan jarak dengan kuliner tradisional. “Anak-anak muda wajib mencicipi makanan tradisional, jangan terpengaruh makanan instan,” pesan Evita, yang seolah mewakili suara banyak ibu di negeri ini.

Makna di Balik Sepiring Rujak

Rujak cingur bukan sekadar kuliner. Ia adalah narasi tentang ketekunan, tentang nostalgia, tentang kota yang tak pernah tidur, tentang identitas yang terus diperjuangkan di tengah arus modernitas.

Penjual Rujak Cingur yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan. ( Sumber Foto : Robertus Riski)

Sepiring rujak cingur adalah undangan untuk kembali, sejenak saja, ke akar budaya yang hampir terlupa.

Di bawah payung warna-warni itu, Masturoh tak hanya menjual makanan, tapi juga harapan: bahwa tradisi akan tetap hidup, selama masih ada yang merindukannya. (RR)

---

Tag :

Berita Terbaru

Setan di Tengah Kota

Setan di Tengah Kota

Sabtu, 26 Jul 2025 07:51 WIB

Sabtu, 26 Jul 2025 07:51 WIB

TUJUHPAGI - Saya masuk. Bersama tujuh orang lain. Satu pura-pura berani. Satu lagi benar-benar penakut. Sisanya? Tidak jelas. Mungkin hanya ikut-ikutan. Atau,…

Kelas Menengah Kian Menyusut, Kesejahteraan Bangsa Ikut Surut

Kelas Menengah Kian Menyusut, Kesejahteraan Bangsa Ikut Surut

Jumat, 25 Jul 2025 22:34 WIB

Jumat, 25 Jul 2025 22:34 WIB

TUJUHPAGI - Kelas menengah Indonesia sedang turun gunung. Bukan, bukan turun untuk piknik. Tapi benar-benar turun kelas. Data BPS terbaru: jumlah kelas…

Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh

Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh

Jumat, 25 Jul 2025 06:24 WIB

Jumat, 25 Jul 2025 06:24 WIB

TUJUHPAGI - Benowo, Surabaya. Di sini, listrik menyala dari sampah. Tapi, di balik gemerlap lampu-lampu itu, ada nafas yang tersengal. Saya ingat, di masa…

Rojali: Harapan Rekreasi di Tengah Lesunya Transaksi

Rojali: Harapan Rekreasi di Tengah Lesunya Transaksi

Kamis, 24 Jul 2025 21:47 WIB

Kamis, 24 Jul 2025 21:47 WIB

TUJUHPAGI - Fenomena mal yang ramai pengunjung namun tenan sepi pembeli kini menjadi pemandangan lumrah di banyak kota besar. Di dalam toko dan tenan, para…

Suara Anak Kampung dari Gang-Gang Surabaya: Saatnya Berani Berkarya, Berani Bersuara, Perjuangkan Asa

Suara Anak Kampung dari Gang-Gang Surabaya: Saatnya Berani Berkarya, Berani Bersuara, Perjuangkan Asa

Rabu, 23 Jul 2025 19:07 WIB

Rabu, 23 Jul 2025 19:07 WIB

TUJUHPAGI - Hari itu, Minggu pagi, Surabaya belum sepenuhnya bangun. Tapi di sudut-sudut kampung, di gang-gang sempit yang kadang luput dari peta pembangunan, …

Raih Mimpi Setinggi Langit, Ciptakan Asa: Anak-anak Sanggar Merah Merdeka

Raih Mimpi Setinggi Langit, Ciptakan Asa: Anak-anak Sanggar Merah Merdeka

Minggu, 20 Jul 2025 03:38 WIB

Minggu, 20 Jul 2025 03:38 WIB

Tujuhpagi.com- Saya ingat satu kalimat dari Ki Hajar Dewantara. Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun…