TUJUHPAGI - Benowo, Surabaya. Di sini, listrik menyala dari sampah. Tapi, di balik gemerlap lampu-lampu itu, ada nafas yang tersengal. Saya ingat, di masa kecil, udara pagi di kampung-kampung selalu segar. Tapi mungkin berbeda sekarang, di Benowo, udara membawa cerita lain—cerita tentang polusi yang tak kasat mata, tapi terasa di dada.
Sejak 2021, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo berdiri gagah. Setiap hari, 1.600 ton sampah diolah, 12 megawatt listrik dihasilkan. Kota ini bangga. Tapi, siapa yang memikirkan napas para warga di sekitarnya? Data Walhi Jawa Timur bicara: udara di sekitar PLTSa Benowo kini melampaui batas aman yang ditetapkan WHO dan standar nasional. Partikel halus PM2.5 dan PM10, sejak November 2024 hingga Januari 2025, konsisten menari di atas ambang batas. Saya membayangkan, setiap tarikan nafas warga Benowo, ada partikel kecil yang ikut masuk—tak terlihat, tapi menumpuk hari demi hari.
Muhammad Jibril, staf kampanye Walhi Jatim, menyebut polusi udara di Benowo ini bukan sekadar angka. “Ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat lokal,” katanya. Dioksin dan furan, dua senyawa yang namanya saja sudah terdengar asing dan menakutkan, mengintai di udara. Risiko penyakit pernapasan, kanker, hingga cacat kehamilan, membayangi ibu-ibu yang setiap hari menghirup udara Benowo.
Ironisnya, data kesehatan warga sulit diakses. Puskesmas setempat seolah menutup rapat-rapat pintunya. Bukti memang belum cukup kuat, tapi siapa yang bisa membantah keluhan warga yang makin sering batuk, makin mudah lelah? Relawan Walhi, dengan alat sederhana, mengukur kualitas udara hingga radius 3 kilometer. Hasilnya: polutan terbawa angin, menyebar ke mana-mana.
Andre Yuris, Ketua AJI Surabaya, menyerukan agar media lebih berpihak pada suara masyarakat terdampak polusi di Benowo, bukan hanya pada narasi pemerintah dan korporasi. (Foto : Robertus riski)
Di tengah hiruk-pikuk ini, suara warga Benowo nyaris tak terdengar. Media arus utama, kata Andre Yuris, Ketua AJI Surabaya, masih terlalu sering berpihak pada narasi pemerintah dan korporasi. “Berita soal kerusakan lingkungan memang ada, tapi suara warga yang terdampak masih kalah nyaring,” ujarnya.
Saya percaya, berita lingkungan tak cukup hanya netral. Ia harus berpihak—pada mereka yang lemah, yang terpinggirkan, yang tak punya akses bicara. Karena udara bersih bukan cuma soal data, tapi soal hak hidup. Dan Benowo, hari ini, sedang menagih janji itu.
Akhirnya, Benowo mengingatkan kita: listrik bisa dihasilkan dari sampah, tapi jangan sampai nafas warga jadi korban. Kota ini butuh lebih dari sekadar lampu yang menyala—ia butuh udara yang layak untuk dihirup, dan keberanian untuk bersuara bagi mereka yang tak terdengar. (RR)
Editor : Ardhia