TUJUH PAGI - Di kalangan Marinir ada satu pepatah tak tertulis: prajurit tidak pernah berhenti belajar perang. Bahkan ketika peluru belum ditembakkan, bahkan ketika musuh belum terlihat.
Itulah yang dilakukan prajurit Brigif 2 Marinir di Puslatpurmar 4 Purboyo, Malang Selatan. Minggu kemarin (7/9/2025), mereka berlatih seolah-olah besok pagi akan benar-benar turun perang.
Ada patroli hutan. Ada penyebrangan sungai. Ada manuver serangan. Semua dijalani dengan kesungguhan. Bukan karena diperintah. Tapi karena sudah jadi bagian dari napas.
Prajurit Brigif 2 Marinir menyeberangi sungai dengan penuh kewaspadaan dalam latihan tempur di Puslatpurmar 4 Purboyo, Malang Selatan.
Bagi mereka, latihan bukan sekadar rutinitas. Latihan adalah hidup itu sendiri. Karena saat tubuh terbiasa disiplin, saat pikiran terbiasa teruji, saat komando terbiasa dipatuhi itulah bekal untuk hari yang tidak bisa ditebak: hari ketika negara benar-benar membutuhkan.
Komandan Brigif 2 Marinir, Kolonel Marinir Daniel Tarigan, tahu betul filosofi itu. Ia hanya memberi arahan sederhana: profesionalisme. Sisanya? Sudah otomatis dijalani pasukan.
“Latihan ini bukan hanya meningkatkan kemampuan bertempur,” katanya. “Ini mengikat kembali komitmen. Bahwa Marinir selalu siap menjaga keamanan. Selalu siap menghadapi masa depan.”
Masa depan itu memang penuh misteri. Tidak ada yang tahu kapan ancaman datang. Dari mana asalnya. Seperti apa bentuknya. Tapi ada satu hal yang mereka yakini: prajurit yang terbiasa berlatih tidak akan gugup menghadapi situasi paling sulit sekalipun.
Itulah kenapa latihan ini terasa seperti siklus tanpa akhir. Habis patroli, kembali ke barak. Habis barak, turun lagi ke hutan. Habis sungai, naik ke bukit.
Orang luar mungkin menyebutnya melelahkan. Prajurit menyebutnya penyempurnaan.
Prajurit Brigif 2 Marinir menerima penjelasan taktik di atas peta lapangan sebelum melaksanakan manuver tempur di Puslatpurmar 4 Purboyo, Malang Selatan.
Karena perang yang sebenarnya bukan melawan musuh di depan mata. Tapi melawan rasa malas. Melawan godaan untuk setengah hati. Melawan pikiran bahwa semua sudah cukup.
Di situlah Marinir berbeda. Mereka memilih jalan yang lebih berat. Jalan yang membuat tubuh basah kuyup, pakaian penuh lumpur, dan waktu istirahat tersita.
Semua demi satu hal: siap.
Siap ketika negara membutuhkan. Siap ketika stabilitas terganggu. Siap ketika damai diuji.
Latihan mereka tidak pernah selesai. Karena tugas menjaga negeri juga tidak pernah selesai.
Dan di Bantur, Malang Selatan, siklus itu kembali dijalani. Dengan tenang. Dengan tegas. Dengan keyakinan: prajurit sejati lahir dari latihan yang tidak pernah berhenti. (RR)
Editor : Romadona