Gelar Panggung Rakyat : Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya, Menolak Lupa Sejarah lama

author Redaksi

share news
share news

URL berhasil dicopy

share news
Sumber Foto: Ardhia Tap
Sumber Foto: Ardhia Tap

i

TUJUHPAGI  – Sabtu pagi, 9 Agustus 2025, Koalisi Masyarakat Sipil Surabaya menggelar Panggung Rakyat: Menyeduh Ingatan, Menolak Lupa. Bukan sekadar acara biasa. Ini suara keras yang menolak penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah digarap Kementerian Kebudayaan.

Acara itu dimoderatori Dandy. Halaman Gedung GMKI Surabaya pagi itu berubah jadi panggung ingatan. Ada sarasehan. Ada orasi budaya. Ada aksi cap tangan: “Tolak Manipulasi Sejarah.” Lalu pernyataan sikap bersama. Semua dikemas padat, tanpa basa-basi.

Tokoh-tokoh penting duduk di deretan depan. Prof. Hotman Siahaan, Guru Besar FISIP Airlangga. Dr. Pinky Saptandari, antropolog. Dr. Endah Triwijati, Ketua Studi Gender dan Kesehatan Universitas Surabaya. Romo Kurdo. Yohanes Somawiharja. Nama-nama yang tak asing di Surabaya.

Diskusi berjalan. Prof. Hotman bicara lugas. “Kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa dihapus dari sejarah. Sebesar apapun kekuasaan mencoba menghilangkannya dari dokumen, ingatan sosial masyarakat tetap hidup. Rezim boleh berganti. Sejarah tetap menempel di memori sosial. Karma sejarah akan menghantui siapa saja yang coba menghapus fakta demi kekuasaan.”

Pendek. Padat. Tak ada yang berani membantah.

Dr. Pinky Saptandari bicara dengan tegas. “Aksi ini suara bagi yang dibungkam. Ini soal merawat ingatan bersama, menolak lupa, menolak sejarah disesatkan,” katanya. Tak ada basa-basi. Semua tahu, sejarah bangsa ini terlalu sering diutak-atik.

Lalu Dr. Endah Triwijati. Ia membuka luka lama: perempuan korban kekerasan Mei 1998. Tubuh perempuan minoritas—keturunan Arab, Tionghoa—jadi sasaran. Polanya sama, dari Jakarta sampai Surabaya. Perempuan, katanya, dianggap lambang kehormatan kolektif. Tapi justru mereka yang paling rentan. Narasi budaya menambah luka: perkosaan dianggap aib keluarga, suara mereka dihapus, pengalaman mereka tak dipercaya.

Diskusi makin panas. Semua sepakat: sejarah memang sering ditulis pemenang. Tapi, sejarah juga milik mereka yang kalah, yang jadi korban. Menjaga suara korban agar tak hilang, itu tugas mulia. Kalau suara korban lenyap, peradaban bangsa ikut tenggelam.

Koalisi ini lahir karena suara aktivis, organisasi, kampus—masih terlalu lirih. Mereka ingin membuka ruang bicara. Mengajak siapa saja yang peduli untuk tidak diam. 

Diam, kata mereka, sama saja membiarkan sejarah dipelintir. Dan sejarah yang dipelintir, cepat atau lambat, akan menuntut balas.

Luka dan suara korban tak boleh dihapus. Sejarah yang hilang, masa depan bangsa ikut terancam.

Diam bukan pilihan. Ingatan harus dijaga. Hanya dengan mengakui sejarah secara utuh, bangsa ini bisa melangkah maju tanpa mengulang luka lama.

Pernyataan itu bukan sekadar slogan. Koalisi menolak penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas pemerintah. Mereka melihat prosesnya serba instan, publik—terutama korban—tak dilibatkan. 

Buku sejarah yang dihasilkan dikhawatirkan jadi instrumen kekuasaan: menutupi fakta, menghapus narasi korban, dan mengabaikan tuntutan keadilan atas pelanggaran HAM masa lalu, termasuk tragedi Mei 1998.

Koalisi menuntut pemerintah menghormati temuan lembaga negara, dokumentasi sejarah, kesaksian korban, data investigatif, dan rekomendasi berbagai lembaga kredibel. 

Negara harus bertanggung jawab, menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional yang adil dan bermartabat.

Di Surabaya, suara itu lantang. “Kita tak boleh diam,” seru mereka. Diam, artinya membiarkan sejarah dipelintir. Ingatan kolektif harus dirawat, agar bangsa ini tak terjebak pada pengulangan luka yang sama. (Red)

Berita Terbaru

Rumah Literasi Digital: Jagongan di Tengah Bisingnya Zaman

Rumah Literasi Digital: Jagongan di Tengah Bisingnya Zaman

Selasa, 26 Agu 2025 22:53 WIB

Selasa, 26 Agu 2025 22:53 WIB

Jurnalis tak lagi sekadar penulis berita. Kini, mereka diharapkan menjadi penghubung—antara dunia yang riuh dan masyarakat yang haus penjelasan.…

Secangkir Kopi di Cafe Megumi RS Primaya Bekasi Barat

Secangkir Kopi di Cafe Megumi RS Primaya Bekasi Barat

Selasa, 26 Agu 2025 12:12 WIB

Selasa, 26 Agu 2025 12:12 WIB

Cafe Megumi bukan sekadar tempat ngopi, tetapi ruang yang menghadirkan harapan dan kenyamanan di tengah suasana rumah sakit.…

Tebar Kepedulian, PNM Cabang Surabaya Bersama Baitul Maal Madani Hadirkan Santunan bagi Anak Yatim

Tebar Kepedulian, PNM Cabang Surabaya Bersama Baitul Maal Madani Hadirkan Santunan bagi Anak Yatim

Sabtu, 16 Agu 2025 22:37 WIB

Sabtu, 16 Agu 2025 22:37 WIB

Dalam setiap langkah dan senyuman yang lahir dari kepedulian ini, tersimpan cerita tentang dunia yang masih bisa dirajut dengan benang-benang kasih dan perhatia…

Kereta Api dan Cerita di Balik Perjalanan Menjelang Kemerdekaan ke-80

Kereta Api dan Cerita di Balik Perjalanan Menjelang Kemerdekaan ke-80

Jumat, 15 Agu 2025 13:46 WIB

Jumat, 15 Agu 2025 13:46 WIB

Di tengah lonjakan penumpang yang mencapai puluhan ribu, kereta api menjadi ruang hidup yang menghubungkan kota-kota, keluarga, dan cerita-cerita yang tak terhi…

Kail, Air, dan Kehidupan: Filosofi Memancing ala Gede

Kail, Air, dan Kehidupan: Filosofi Memancing ala Gede

Jumat, 15 Agu 2025 09:34 WIB

Jumat, 15 Agu 2025 09:34 WIB

TUJUHPAGI - Hobi memancing itu bukan sekadar melempar kail ke air. Lebih dari itu, ia adalah pelarian dari kebisingan dunia, tempat di mana jiwa bisa bernapas…

Menghirup Kedamaian di Jendela Langit, Surga Tersembunyi Pasuruan

Menghirup Kedamaian di Jendela Langit, Surga Tersembunyi Pasuruan

Jumat, 15 Agu 2025 09:23 WIB

Jumat, 15 Agu 2025 09:23 WIB

TUJUHPAGI - Jendela Langit di lereng Gunung Arjuna memang bukan tempat biasa. Angin pegunungan yang berhembus pelan membawa aroma tanah basah yang segar,…