Kebun Binatang Surabaya: Ikon Sejarah yang Menunggu Nasibnya

Reporter : Robertus Riski
Pengunjung memberi makan jerapah di area satwa herbivora Kebun Binatang Surabaya. (Sumber Foto : Robertus Riski)

 

Tujuhpagi - Di tengah riuh Surabaya yang terus berlari, Kebun Binatang Surabaya berdiri seperti ingatan yang enggan dilupakan.

Kebun Binatang Surabaya bukan sekadar tempat rekreasi; ia adalah saksi perjalanan kota, ruang di mana generasi pernah belajar mengenal dunia satwa.

Usianya lebih dari seabad, namun kini ia seperti raksasa yang kelelahan: menyimpan sejarah panjang, tapi juga menanggung beban zaman yang kian berat.

Dibuka pada 1916, ia bukan sekadar kandang besar dengan ratusan hewan di dalamnya. Ia adalah bagian dari ingatan kota. Bagian dari cerita Surabaya sebagai kota yang keras kepala mempertahankan sejarahnya. 

Tapi sejarah tidak selalu memberi jaminan. Hari ini, KBS seperti orang tua yang kehabisan napas: masih hidup, tapi tertatih. Ia memikul beban terlalu berat—overpopulasi satwa, manajemen yang pincang, dan fasilitas yang tertinggal. 

Singky Soewadji, Ketua Asosiasi Pemerhati dan Pecinta Satwa Indonesia, menyebut KBS sebagai rumah keduanya. Tapi rumah itu, katanya, kini penuh sesak. Komodo yang jumlahnya 135 ekor, jauh melampaui kapasitas. Jalak Bali yang seharusnya jadi kebanggaan, justru terjebak dalam ruang sempit. 



“Kalau tidak segera diatasi, KBS akan ditinggalkan generasi muda,” ujarnya dalam diskusi bersama Rumah Literasi Digital, Jumat (5/9/2025). 

KBS pernah jadi kebun binatang terlengkap di Asia Tenggara. Lebih dari 230 spesies. Lebih dari 2.000 ekor satwa. Dari mamalia, aves, reptilia, sampai pisces. Tapi angka-angka itu kini seperti statistik yang kehilangan makna. Karena di era wisata digital, angka tidak cukup. Orang mencari pengalaman. Anak muda mencari interaksi. Mereka ingin kebun binatang yang hidup, bukan sekadar koleksi. 

Apakah KBS akan mampu berubah menjadi kebun binatang modern dan edukatif? Atau ia akan menjadi monumen masa lalu, yang hanya diceritakan dalam buku sejarah? 

Kota Surabaya tidak kekurangan energi untuk berubah. Tapi KBS butuh lebih dari sekadar energi. Ia butuh keberanian. Seperti yang disampaikan Singky,  yaitu keberanian  untuk merombak manajemen. Keberanian untuk menata ulang SDM. Dan keberanian untuk mengakui bahwa sejarah saja tidak cukup untuk bertahan. 

KBS adalah ikon. Tapi ikon juga bisa rapuh. Dan Surabaya harus memilih: membiarkan ikon ini pudar, atau menjadikannya kembali terang di tengah zaman yang serba cepat.  (AP/RR)

Editor : Ardhia Tap

Liputan
Berita Populer
Sabtu, 11 Okt 2025 12:43 WIB
Berita Terbaru