Menjaga Bara Tradisi di Tanah Liat: Potret Perajin Gendok di Desa Karang, Tuban

author Ardhia

share news
share news

URL berhasil dicopy

share news

TUJUH PAGI – Di sebuah sudut desa yang tenang, Desa Karang, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, suara benturan tangan dengan tanah liat menjadi simfoni tersendiri. Di sinilah denyut tradisi kerajinan gerabah khas Tuban terus berdetak melalui tangan-tangan terampil para perajin. Salah satu produk yang menjadi ikon khas adalah Gendok—tempat ikan pindang berbahan tanah liat yang juga sering digunakan sebagai perlengkapan dapur di rumah tangga masyarakat Jawa Timur.

Gendok bukan sekadar wadah. Ia menyimpan cerita tentang ketekunan, warisan budaya, dan perjuangan hidup warga desa yang telah berpuluh-puluh tahun menggantungkan hidup dari tanah liat.

Dibanderol seharga Rp1.500 per buah, Gendok dari Desa Karang telah tersebar di berbagai pasar tradisional di Jawa Timur. Meskipun harganya terbilang murah, proses pembuatannya tidak sesederhana menumpuk tanah dan membentuknya. Ada sentuhan seni, sabar, dan pengorbanan yang mengendap dalam setiap lekuknya.

Dari Lempung Menjadi Nilai

Setiap pagi, warga seperti Ibu Sri dan Pak Marno dua di antara puluhan perajin gerabah di desa itu memulai hari dengan mengolah tanah liat yang didatangkan dari area persawahan sekitar. Tanah liat ini harus diayak dan diaduk dengan air hingga mencapai konsistensi yang pas. Setelah itu, dengan telapak tangan dan alat sederhana, mereka mulai membentuk Gendok satu per satu.

Dari tanah liat menjadi gerabah. Para Perajin sedang membuat Gendok—tempat ikan pindang berbahan tanah liat yang juga sering digunakan sebagai perlengkapan dapur di rumah tangga masyarakat Jawa Timur. (Foto: Julian)

Biasanya, dalam kondisi cuaca yang bersahabat, mereka mampu memproduksi hingga 200 buah Gendok per hari. Namun, saat musim hujan atau cuaca mendung seperti beberapa pekan terakhir, produksi menurun drastis. Proses pengeringan yang biasanya dilakukan di bawah sinar matahari langsung terganggu, membuat perajin hanya bisa menghasilkan sekitar 50 buah saja per hari.

“Kalau mendung terus, tanahnya lama kering. Padahal harus benar-benar kering dulu sebelum dibakar, kalau tidak nanti retak,” ungkap Ibu Sri sambil menunjuk tumpukan Gendok yang baru selesai dicetak namun belum bisa dijemur.

Bakar Tradisi di Tungku Tanah

Setelah kering, Gendok akan dibakar di tungku sederhana yang terbuat dari tumpukan batu bata. Proses pembakaran ini bisa memakan waktu hingga enam jam. Di sinilah seni lain bekerja: menjaga api agar tetap menyala dengan suhu yang tepat, agar Gendok tidak retak namun cukup matang untuk digunakan sebagai wadah makanan.

Proses Menjemur Gendok sebelum pembakaran: Sebuah langkah kunci dalam pembuatan Gendok yang melibatkan kerajinan tangan dan keahlian para perajin di Desa Karang, Tuban. (Foto: Julian)

Pasar Gendok cukup stabil karena masih menjadi kebutuhan rumah tangga, terutama bagi penjual ikan pindang, penjual jamu, atau rumah tangga tradisional yang masih setia dengan alat dapur berbahan tanah liat. Meskipun demikian, maraknya peralatan dapur modern berbahan plastik dan stainless turut mengancam eksistensi kerajinan ini.

“Sekarang anak muda banyak yang tidak mau meneruskan. Mereka lebih milih kerja di kota. Padahal bikin Gendok ini bisa jadi penghasilan harian yang tetap,” kata Ibu Sri yang sudah lebih dari 20 tahun menekuni kerajinan ini.

Butuh Dukungan Agar Tak Padam

Kerajinan gerabah, khususnya Gendok khas Tuban, sejatinya menyimpan potensi ekonomi dan budaya yang besar. Namun, untuk bisa bertahan, para perajin membutuhkan dukungan. Pelatihan, akses pasar digital, hingga perhatian pemerintah daerah bisa menjadi penyulut semangat agar api di tungku-tungku Desa Karang tak padam oleh zaman.

Gendok bukan sekadar barang pakai. Ia adalah bukti bahwa tradisi dan inovasi bisa berjalan beriringan asal ada kemauan untuk menjaga dan mengembangkan. Di tangan para perajin Desa Karang, tanah liat bukan hanya debu yang mengeras, tetapi napas dari sebuah budaya yang menolak punah. (RD)

Berita Terbaru

Setan di Tengah Kota

Setan di Tengah Kota

Sabtu, 26 Jul 2025 07:51 WIB

Sabtu, 26 Jul 2025 07:51 WIB

TUJUHPAGI - Saya masuk. Bersama tujuh orang lain. Satu pura-pura berani. Satu lagi benar-benar penakut. Sisanya? Tidak jelas. Mungkin hanya ikut-ikutan. Atau,…

Kelas Menengah Kian Menyusut, Kesejahteraan Bangsa Ikut Surut

Kelas Menengah Kian Menyusut, Kesejahteraan Bangsa Ikut Surut

Jumat, 25 Jul 2025 22:34 WIB

Jumat, 25 Jul 2025 22:34 WIB

TUJUHPAGI - Kelas menengah Indonesia sedang turun gunung. Bukan, bukan turun untuk piknik. Tapi benar-benar turun kelas. Data BPS terbaru: jumlah kelas…

Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh

Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh

Jumat, 25 Jul 2025 06:24 WIB

Jumat, 25 Jul 2025 06:24 WIB

TUJUHPAGI - Benowo, Surabaya. Di sini, listrik menyala dari sampah. Tapi, di balik gemerlap lampu-lampu itu, ada nafas yang tersengal. Saya ingat, di masa…

Rojali: Harapan Rekreasi di Tengah Lesunya Transaksi

Rojali: Harapan Rekreasi di Tengah Lesunya Transaksi

Kamis, 24 Jul 2025 21:47 WIB

Kamis, 24 Jul 2025 21:47 WIB

TUJUHPAGI - Fenomena mal yang ramai pengunjung namun tenan sepi pembeli kini menjadi pemandangan lumrah di banyak kota besar. Di dalam toko dan tenan, para…

Suara Anak Kampung dari Gang-Gang Surabaya: Saatnya Berani Berkarya, Berani Bersuara, Perjuangkan Asa

Suara Anak Kampung dari Gang-Gang Surabaya: Saatnya Berani Berkarya, Berani Bersuara, Perjuangkan Asa

Rabu, 23 Jul 2025 19:07 WIB

Rabu, 23 Jul 2025 19:07 WIB

TUJUHPAGI - Hari itu, Minggu pagi, Surabaya belum sepenuhnya bangun. Tapi di sudut-sudut kampung, di gang-gang sempit yang kadang luput dari peta pembangunan, …

Raih Mimpi Setinggi Langit, Ciptakan Asa: Anak-anak Sanggar Merah Merdeka

Raih Mimpi Setinggi Langit, Ciptakan Asa: Anak-anak Sanggar Merah Merdeka

Minggu, 20 Jul 2025 03:38 WIB

Minggu, 20 Jul 2025 03:38 WIB

Tujuhpagi.com- Saya ingat satu kalimat dari Ki Hajar Dewantara. Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun…