TUJUHPAGI.COM - Gereja itu tua. Dindingnya tebal. Langit-langitnya tinggi. Tapi Jumat Agung kemarin (18/04/2025), gereja Vincentius a Paulo, Surabaya terasa lebih hidup. Lebih "Jawa".
Di panggung kecil di dekat altar, Yesus sedang memanggul salib. Ia bukan dari Betlehem. Ia dari Surabaya. Namanya: Philippus Neri Tri Setyoadi Nugroho.
Kolaborasi Seni dan Iman: Gamelan Mengiringi Kisah Yesus
Saya mendekat. Lantunan gamelan mengiringi langkah-langkahnya. Lirih. Seperti tangis yang ditahan. Seperti doa yang tak sempat terucap.
Saya tahu: ini Jalan Salib. Tapi kali ini bukan sekadar peragaan. Ini adalah tafsir budaya. Sebuah inkulturasi yang pelan-pelan menyentuh batin.
“Awalnya keinginan Romo Yoyon,” kata Philippus, setelah selesai memerankan Yesus.
“Saya kira hanya iseng. Tapi ternyata sungguh-sungguh. Romo ingin Jalan Salib tahun ini pakai sentuhan Jawa.”
Jawa? Saya sempat ragu. Tapi begitu melihat kostumnya lurik, jarik, bahkan keris di pinggang salah satu serdadu Romawi saya manggut.
Ini bukan sekadar visualisasi. Ini meditasi. Ini seni. Apalagi, gamelan di sudut gereja tidak hanya jadi pajangan. Ia ditabuh dengan hati.
Inkulturasi Jalan Salib dengan Sentuhan Budaya Jawa di Gereja Santo Vincentius A Paulo, Surabaya (18/04/2025). Tujuhpagi.com/Romadon.
Persiapan dan Kolaborasi: Di Balik Layar Pertunjukan Jalan Salib
Saya penasaran, "Siapa yang berada di balik semua ini?" Jawabannya mengejutkan—bukan event organizer profesional atau lembaga seni terkemuka."Ini adalah hasil kerja sama antara OMK, alumni St. Louis II, dan komunitas seni binaan," jawabnya dengan bangga.
Keyakinan saya semakin kuat: di balik adegan-adegan yang tampak begitu natural, tersimpan latihan panjang dan perenungan mendalam. Malam-malam mereka diisi dengan diskusi dan doa.
"Bahkan, kami sempat berencana menggunakan bahasa Jawa," ujarnya dengan nada lembut. "Namun pada akhirnya, kami memilih bahasa Indonesia agar lebih inklusif."
Menurut saya, keputusan tersebut sangat bijak. Jalan Salib tidak hanya menjadi milik umat Katolik, tetapi juga menyampaikan kisah penderitaan, pengkhianatan, dan pengampunan yang bersifat universal.
Peran Aktor Lokal dalam Jalan Salib dengan Nuansa Lurik dan Keris
Philippus mungkin bukan aktor profesional, namun ketika ia memanggul salib, ada kesan seolah-olah ia benar-benar menanggung dosa dunia."Saya berusaha menghidupi kesedihan Yesus," ujarnya. "Bukan hanya kesedihan pada masa lalu, tetapi juga kesedihan atas dosa-dosa manusia yang terus berlangsung hingga kini."
Meskipun bukan aktor profesional, Philippus menggambarkan pengorbanan dengan penuh kesungguhan. Baginya, memanggul salib adalah perwujudan dari kesedihan Yesus dan pengingat akan dosa-dosa manusia yang terus berlangsung. Tujuhpagi.com/Romadon.
Momen Mendalam: Refleksi Keimanan dan Kesedihan Yesus
Di bangku depan, seorang suster menyeka matanya. Ia tampak tersentuh.
Namanya Suster Antonia Puteri Kasih. Usianya 56 tahun. Tapi cara ia memandang panggung membuatnya seperti gadis kecil yang sedang menyaksikan dongeng.
“Visualisasi ini memperkaya iman,” katanya. “Dan ini bukan sekadar budaya. Ini adalah jalan menuju penghayatan yang lebih dalam.”
Saya setuju. Apalagi ketika suster menyebut bahwa pertunjukan ini juga dihadiri lintas agama.
“Kami sedang mendorong kerja sama lintas iman,” katanya. “Untuk kebaikan bersama.”
Dampak Visualisasi Budaya terhadap Iman dan Kerukunan Antara Agama
Setelah semuanya selesai, saya melangkah keluar gereja. Matahari sudah condong ke barat, namun hati saya justru terasa dipenuhi cahaya. Karena di satu sudut Surabaya, saya menyaksikan sekelompok anak muda yang tidak sekadar merayakan iman.Mereka menganyam budaya, merangkul sesama, dan dengan cara mereka sendiri, tengah berupaya membangun Kerajaan Allah. (RD)
Editor : Ardhia