TUJUHPAGI.COM – Udara pagi di Stasiun Gubeng, Surabaya pada Jumat (28/3/2025) terasa begitu hidup dan sibuk. Suara riuh pengumuman kedatangan dan keberangkatan kereta api memenuhi udara, menyatu dengan keramaian manusia yang antusias menunggu giliran untuk pulang.
Para pemudik dengan ransel besar tersandar di kaki mereka, sementara tangan mereka erat menggenggam tiket selembar kertas yang menjadi jaminan mereka untuk sampai pulang ke kampung halaman.
Suasana penuh haru dan antusiasme terpancar dari setiap sudut stasiun, menciptakan momen yang tak terlupakan bagi para penumpang yang tengah memulai perjalanan pulang.
Tradisi mudik Lebaran memang tak pernah pudar. Momen yang dinanti selama setahun ini selalu menghadirkan cerita yang sama, tetapi dengan wajah-wajah yang berbeda. Tahun ini, PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daop 8 mencatat angka fantastis: 49.103 pemudik menggunakan kereta api hanya dalam sehari.
Dari jumlah itu, 27.569 orang berangkat meninggalkan Surabaya, sementara 21.534 lainnya tiba. Angka ini menandai rekor tertinggi selama masa angkutan Lebaran 2025 di Daop 8.
Dari atas peron, antrean penumpang mengular panjang. Mata-mata lelah terlihat menatap jam keberangkatan di layar digital, berharap waktu segera bergulir lebih cepat. Beberapa orang memilih duduk di lantai, bersandar pada koper, sementara anak-anak berlarian tanpa beban, tak sabar ingin segera naik kereta.
Lebaran dan Ritual Pulang Kampung
Mudik bukan sekadar perjalanan, melainkan ritual tahunan yang sarat makna. Mereka yang merantau sepanjang tahun akhirnya punya kesempatan untuk kembali ke akar, menemui orang tua, keluarga, dan mungkin, kenangan lama yang masih tertinggal di kampung halaman.Di tengah hiruk-pikuk peron, seorang pria muda bernama Radit sibuk menggulung tiketnya agar tidak kusut. Ia tersenyum lega karena berhasil mendapatkan kursi dalam kereta tujuan Jember.
Lebaran selalu menjadi momen berharga bagi masyarakat Indonesia untuk pulang kampung, melepas rindu setelah berbulan-bulan bekerja di perantauan. (Sumber gambar : Robertus RIzky)
“Alhamdulillah sudah sebulan lalu pesan. Kalau dadakan, pasti susah dapat tiket,” katanya. Ia tak mau mengambil risiko kehabisan tempat duduk, apalagi mendekati puncak arus mudik.
Sementara itu, di sisi lain, seorang ibu muda tampak berdiri dengan bayi tertidur dalam gendongannya. Suaminya sibuk mengecek ponsel, memastikan jadwal keberangkatan tidak berubah.
“Kami sudah lama nggak pulang ke Banyuwangi. Tahun ini harus mudik, rindu keluarga,” ujarnya dengan senyum kecil. Ia tahu perjalanan ini akan melelahkan, tetapi pertemuan dengan orang tua di kampung halaman jauh lebih berharga daripada rasa letih yang sementara.
Lautan Manusia di Stasiun Gubeng
Tak hanya Stasiun Gubeng, dua stasiun besar lain di wilayah Daop 8 Surabaya Pasar Turi dan Malang juga mengalami lonjakan penumpang yang signifikan. Manager Humas KAI Daop 8, Luqman Arif, menjelaskan bahwa pihaknya telah mengantisipasi lonjakan ini dengan mengoperasikan 58 perjalanan kereta api jarak jauh per hari, terdiri dari 49 perjalanan reguler dan 9 tambahan."Total tempat duduk yang kami sediakan per hari mencapai 25.966 kursi. Kami berusaha semaksimal mungkin agar semua pemudik bisa terakomodasi," ujar Luqman. Namun, kendati tambahan armada sudah dilakukan, permintaan tetap jauh lebih tinggi dibandingkan kapasitas yang tersedia. Tak heran jika tiket kereta api untuk rute favorit seperti Surabaya-Yogyakarta, Surabaya-Semarang, dan Surabaya-Jakarta sudah ludes sejak jauh hari.
Di tengah antrean, seorang pria paruh baya bernama Suyono terlihat memandang kereta yang baru tiba. Matanya berbinar, tetapi ada juga sedikit kegelisahan. Ia ingin segera pulang ke Madiun, tetapi tiket yang dipegangnya menunjukkan keberangkatan masih dua jam lagi.
“Dulu waktu masih muda, naik kereta bisa beli tiket langsung di loket. Sekarang harus berburu online, kalau telat, ya tinggal gigit jari,” ucapnya sambil terkekeh.
Perjalanan yang Lebih dari Sekadar Pulang
Bagi sebagian orang, mudik adalah perjalanan panjang yang sarat tantangan. Tak hanya soal tiket dan antrean, tetapi juga kesiapan mental dan fisik. Beberapa pemudik bahkan memilih berangkat lebih awal untuk menghindari puncak kepadatan yang diprediksi terjadi besok dan lusa.Namun, di balik semua itu, ada satu alasan kuat yang membuat perjalanan ini tetap dilakukan meski penuh perjuangan: rindu. Rindu pada kampung halaman, rindu pada orang tua yang mulai menua, rindu pada suara azan dari masjid kecil di sudut desa, rindu pada hidangan khas yang hanya bisa ditemui setahun sekali.
Suasana Stasiun Gubeng dipenuhi suasana haru, kebahagiaan, dan antusiasme yang meluap seiring detik-detik menuju momen kembali ke kampung halaman. (Sumber gambar: Robertus Rizky)
Dan begitulah mudik. Lebih dari sekadar perjalanan fisik, ini adalah perjalanan hati. Dan di Stasiun Gubeng hari ini, rindu itu terlihat nyata. Mengular panjang dalam antrean yang tak berkesudahan, memenuhi ruang tunggu, menyesaki gerbong-gerbong kereta.
Sebentar lagi, kereta akan melaju, membawa mereka pulang. Membawa mereka kembali ke rumah. (RR)
Editor : Redaksi