Tujuhpagi.com - Saat matahari baru mulai menyapa pucuk-pucuk pohon jati, para penambang di Bektiharjo, Semanding, Tuban, telah lebih dulu beraksi menantang bahaya. Dengan tubuh yang dibalut peluh, mereka menuruni tebing kapur setinggi 50 meter tanpa perlindungan tali pengaman. Hanya anak tangga selebar setengah meter yang menjadi satu-satunya penopang harapan mereka dalam menjalankan tugas berat ini.
Dibuat oleh tangan-tangan terampil para penambang sendiri, tangga batu ini jauh dari rekayasa industri modern. Setiap langkah salah bisa menjadi yang terakhir. Namun, dengan insting terasah dan kebiasaan yang mengendap, mereka bertahan dari ancaman tergelincir ke jurang.
Baca juga: Menjaga Bara Tradisi di Tanah Liat: Potret Perajin Gendok di Desa Karang, Tuban
Beratnya Beban: Kapur dalam Karung
Di bagian bawah tebing yang sempit dan pengap, para penambang bekerja dari pagi hingga senja. Kapur-kapur keras dipecah menggunakan linggis, dikumpulkan ke dalam karung, dan ditarik naik ke daratan. Bayangkan, satu karung bisa seberat 40 kilogram dan seorang penambang bisa mengangkut hingga 10 karung dalam sehari!
"Sudah risikonya begini, Mas. Tapi mau bagaimana lagi, ini satu-satunya pekerjaan yang kami punya," kata Suyatno (42), seorang penambang berpengalaman selama 15 tahun di Bektiharjo. Tangannya yang penuh kapalan dan punggungnya yang bungkuk lebih cepat dari usianya menjadi saksi bisu perjuangannya.
Pagi di Tebing: Awal Perjuangan Para Penambang.(Foto: Julian)
Risiko dan Realitas: Kerja Tanpa Perlindungan
Kegiatan ini berlangsung tanpa bantuan alat berat maupun perlengkapan keselamatan. Meski janji pemerintah untuk memberikan alat dan pelatihan keselamatan kerja sudah lama digaungkan, hingga kini janji tersebut belum terwujud di lapangan.
Baca juga: 40 Tahun Memanjat Langit: Sukito dan Warisan Siwalan Kiring
Kualitas yang Diakui, Harga yang Tak Sebanding
Kapur Bektiharjo dikenal dengan kualitasnya, menjadi buruan pabrik semen dan bahan bangunan di Jawa Timur. Namun, harga satu balok kapur hanya dihargai Rp 15.000. Agar bisa membawa pulang Rp 100 ribu, para penambang harus bolak-balik menaklukkan tebing setidaknya 10 kali.
Penambang seringkali tidak terlihat di balik kemajuan yang dinikmati banyak orang. (Foto: Julian
"Kami hanya bisa berharap agar anak-anak kami tidak harus terjun ke lubang ini juga," ujar Suyatno dengan nada haru. Ia sadar bahwa tebing kapur ini bukanlah masa depan yang diidamkan. Namun, tanpa adanya pilihan lain, mereka tetap akan kembali ke perut bumi demi sesuap nasi.
Di Balik Gemerlapnya Pembangunan: Pengorbanan yang Terlupakan
Di tengah arus pembangunan dan laju industrialisasi, kisah heroik para penambang kapur di Bektiharjo nyaris terlupakan. Padahal, berkat keringat dan keberanian mereka, berdirilah gedung-gedung megah yang kita huni dengan nyaman hari ini. (RD)
Editor : Ardhia