TUJUHPAGI - Perjalanan lebih dari satu jam. Meninggalkan kebisingan, meninggalkan hiruk-pikuk kota besar yang tak pernah tidur.
Mobil melaju pelan, menembus jalanan yang mulai sepi. Udara berubah. Pohon-pohon cemara berdiri gagah di kiri-kanan, seolah menjadi pagar kehormatan bagi siapa saja yang datang. Kontras sekali dengan kehidupan urban yang serba tergesa, serba bising.
Angin di sini berbeda. Ia menari di sela-sela dedaunan, menciptakan musik alam yang tak pernah diputar di radio mana pun.
Kadang, kabut tipis turun perlahan, menyelimuti bukit hijau, membawa aroma tanah basah khas pegunungan. Inilah Tegal Kidul, Jatiarjo, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Senin, 4 Juli 2025.
Tempat terpencil ini diam-diam menyimpan harta karun. Bukan permata, bukan berlian, bukan perak.
Tapi emas hitam: biji kopi arabika—yang tumbuh di pelukan alam, menunggu untuk ditemukan, dinikmati, dan diceritakan.
Di ketinggian 1.000 sampai 1.400 meter di atas permukaan laut, di antara curamnya kaki Gunung Arjuno dan Gunung Ringgit, kehidupan berdenyut dengan cara yang berbeda.
Di lereng-lereng itu, ada jiwa-jiwa yang setia. Mereka meramu, bekerja, dan berdoa dengan ketulusan yang tak pernah dipamerkan. Mereka adalah para petani kopi, yang tergabung dalam Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Arjuna Lestari.
Dulu, potret kehidupan di sini muram. Tapi di tangan mereka, kemuraman itu perlahan berubah rupa—menjadi ketekunan, menjadi harapan.
Setiap perjuangan tergambar jelas pada jari-jemari yang piawai memetik biji kopi Arabika. Tak sekadar memetik, tapi merawat, menjaga, dan memeluk asa.
Bagi mereka, biji kopi bukan sekadar tanaman. Ia adalah simbol kehidupan. Simbol kesejahteraan. Di setiap butirnya, tersimpan cerita tentang bertahan, berjuang, dan mimpi yang tak pernah padam.
Tangan-tangan mereka kasar, tapi lincah. Memetik biji kopi satu per satu. Tidak sembarangan. Harus matang. Harus merah. Harus penuh harapan.
Kopi bagi mereka bukan sekadar tanaman. Kopi adalah hidup. Kopi adalah masa depan. Kopi adalah cerita.
Budidaya kopi arabika di sini bukan sekadar menanam lalu menunggu panen. Ketinggian lereng—antara 1.000 hingga 1.400 meter di atas permukaan laut—menjadi penentu utama kualitas biji kopi yang dihasilkan.
Di kawasan ini, varietas yang tumbuh pun beragam: Yellow Catura, Lini S, hingga Sigararutang. Setiap varietas punya cerita, cita rasa, dan tantangan sendiri.
Namun, alam kadang bicara dengan caranya sendiri. Cuaca menjadi sahabat sekaligus lawan. Hujan yang datang tak kenal musim seringkali membuat para petani harus menghitung ulang harapan.
Tahun 2024, panen raya. Hasilnya mencapai 80 ton setahun. Tapi tahun ini, hujan datang terlalu sering. Panen turun drastis, hanya 50 ton.
“Tahun ini karena sering hujan, panen turun hingga 50 persen. Jadi cuma panen 50 ton saja,” ujar Hidayat, Ketua LPHD Arjuna Lestari.
Saya lihat lahan mereka. 368 hektare. Tidak hanya kopi. Ada buah-buahan juga.
“Supaya ekonomi petani naik. Supaya hutan tetap lestari. Supaya tidak ada erosi. Tidak ada banjir,” kata mereka.
Pengelolaan pertanian hutan di lahan seluas 368 hektare ini tak hanya bicara soal kopi. Ada buah-buahan juga yang tumbuh berdampingan.
Lebih dari itu, menanam kopi dan buah-buahan adalah cara mereka menjaga hutan. Menahan tanah agar tak mudah tergerus air. Mencegah banjir, mencegah erosi.
Prinsip perhutanan sosial berkelanjutan dijalankan bukan sekadar slogan, tapi benar-benar menjadi napas kehidupan di lereng Arjuno dan Ringgit.
Saya pikir, ini bukan sekadar bertani. Ini strategi. Ini perlawanan terhadap lupa—lupa pada hutan, lupa pada lingkungan.
Tapi jalan ke sini curam. Sulit. Belum lagi soal pasar. Petani kecil harus bersaing dengan pemain besar. Namun mereka tidak menyerah. Mereka menjual ke coffee shop di Surabaya. Kadang permintaan datang dari Jakarta, Yogya, bahkan Batam.
Hari-hari ini, angin segar benar-benar terasa di lereng Arjuno. Bukan hanya dari udara pegunungan yang bersih, tapi juga dari semangat baru para petani. Permintaan ekspor datang mengetuk pintu desa: biji kopi Arabika Yellow Catura, 5 ton, diminta langsung oleh Amerika Serikat. Tak hanya itu, negara-negara di Eropa dan Asia juga mulai melirik hasil bumi dari Tegal Kidul. Saya tanya lagi: “Merawat kopi itu susah?”
Mereka tertawa. “Perlu perhatian khusus. Pupuk kandang. Hama. Gulma. Semua harus dijaga. Kalau tidak, panen bisa gagal.”
Para petani bercerita, anak-anak muda di sini tidak banyak yang mau ke kebun. Katanya tidak keren. Lebih suka jadi barista atau roaster.
“Anak muda sekarang pasti gak mau mencangkul, gengsi. Walaupun, mereka lebih memilih terlibat saat pasca panen, seperti menjadi barista atau roastery,” ujar Hidayat, Ketua LPHD Arjuna Lestari.
Tapi saya yakin, suatu saat nanti, mereka akan kembali. Ke kebun. Ke kopi. Ke akar.
Saya pulang. Udara masih dingin. Tapi hati saya hangat. Harapan itu tumbuh di lereng Arjuna. Bersama emas hitam. Bersama para petani yang tidak pernah lelah.
Editor : Ardhia Tap