TUJUHPAGI - Ada yang berbeda di ARTSUBS 2025 kemarin. Bukan sekadar pameran seni biasa. Di sudut ruangan, saya bertemu Ivan Bestari Minar Pradipta. Orang memanggilnya Ivan. Lahir 1982, tinggal di Yogyakarta, lulusan Desain Komunikasi Visual. Tapi, jangan bayangkan Ivan seperti seniman pada umumnya. Ia bukan pelukis, bukan pematung. Ia tukang sulap kaca bekas.
Kaca-kaca yang biasanya berakhir di tempat sampah, di tangan Ivan justru lahir kembali. Ia bakar dengan obor, ia bentuk dengan api. Hasilnya? Karya-karya kecil berbentuk bakau. Ada yang ramping, ada yang gemuk, ada yang seolah-olah menari. Semua punya cerita.
Kiprah Ivan sudah menembus batas. Dari Yogyakarta, karyanya terbang ke Berlin, menyeberang ke pameran internasional. Di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta, di Berlin Flameworking Studio, hingga kolaborasi dengan seniman Inggris, Hannah Gibson. Tapi Ivan tetap Ivan. Tetap setia pada kaca limbah dan api.
Yang paling fenomenal, menurut saya, adalah kolaborasinya dengan Asriuni Pradipta. Ivan membuat visual bakau dari kaca, Asriuni mengisi dengan musik. Dari situ lahir kisah Bawi Kuwu, perempuan yang hilang di hutan Kalimantan Selatan. Visual bakau diproyeksikan ke dinding, membentuk bayangan perempuan yang seolah-olah menari, bahkan menyanyi. Musiknya lirih, menyayat. Cerita perempuan yang hilang di tengah bakau, menari-nari di antara bayangan dan suara.
Bakau itu kokoh. Ia tahan gelombang, tahan badai. Tapi, di hadapan kerakusan manusia, ia rapuh. Hutan bakau hilang, banjir datang, Indonesia bisa tenggelam. Pesan Ivan jelas: benda bekas bisa jadi bernilai, bisa punya filosofi. Kaca limbah bukan lagi sampah. Ia bisa jadi seni, bisa jadi peringatan.
Ivan tidak sekadar membuat karya. Ia mengajak kita merenung. Tentang kekuatan, tentang kehilangan, tentang harapan. Tentang Indonesia yang harus dijaga. Bakau dari kaca, proyeksi seni, musik yang menyentuh. Semua jadi satu, jadi cerita yang tak mudah dilupakan. (AP)
Editor : Ardhia Tap