Ibu Pertiwi yang Bukan Pertiwi

Reporter : Romadona
Makam Joseph M. Scriven. (Sumber foto: Internet)

TUJUHPAGI - Setiap kali negeri ini diguncang luka, selalu ada satu lagu yang entah dari mana datangnya, lalu menjelma gema. Ia terdengar di layar televisi, di linimasa yang riuh, di ruang-ruang doa yang sunyi, bahkan di jalanan yang berdebu.  

Lagu itu tak muluk-muluk. Melodinya mengalir seperti bisikan angin. Kata-katanya pendek, nyaris seperti doa yang terlupa. Namun justru di situlah ia menikam: sederhana, lembut, dan sekaligus menyalakan perih di dada.  

"Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati."

Begitulah awalnya. Dan jutaan orang Indonesia langsung bisa menyambungnya.
Lagu itu memang bukan lagu asing bagi telinga kita. Sejak taman kanak-kanak kita sudah diperdengarkan.
Sejak kecil kita sudah diajari menyanyikannya.

Tapi siapa pencipta lagu itu?

Pertanyaan itu sering kali diabaikan.
Orang lebih sibuk dengan rasa haru yang ditimbulkannya.
Orang lebih larut dalam bayangan seorang ibu bangsa yang sedang lara, merintih, dan berdoa.

Padahal di balik lagu itu, ada cerita panjang. Bahkan mungkin juga ada salah paham sejarah.

Nama pertama yang sering disebut adalah Ismail Marzuki. Komponis besar. Pencipta lagu nasional paling produktif. Tapi apakah benar dia yang menulis "Ibu Pertiwi"?
Ada yang bilang bukan.

Ada juga yang menyebut nama Kamsidi Samsudin. Komponis asal Solo. Disebut dalam sebuah buku lagu wajib nasional. Katanya, tahun 1908 ia menciptakan lagu ini.
Tapi lagi-lagi, tak ada catatan jelas.

Dan lalu, muncul versi yang lebih mengejutkan.

Twitter. 2019.
Akun @KatolikG mencuit sesuatu yang membuat banyak orang tercengang.

Lagu "Ibu Pertiwi", katanya, bukan asli Indonesia.
Itu hanya terjemahan bahkan mungkin adaptasi dari lagu gereja berjudul "What a Friend We Have in Jesus."

Lagu lama. Dari abad ke-19.
Syairnya ditulis oleh Joseph M. Scriven tahun 1855.
Nadanya dibuat oleh Charles Crozat Converse tahun 1868.

Joseph M. Scriven. Lahir 1820. (Sumber foto: internet)

Benarkah?

Bukti-bukti memang mendukung.
Gitaris Jubing Kristianto pernah menulis panjang di Instagram.
Ia menelusuri rekaman pertama lagu "Ibu Pertiwi" di Indonesia. Tahun 1966. Dibawakan Dara Puspita. Dalam sampulnya, nama pencipta tidak ada.
Lalu ada lagi rekaman tahun 1974, kaset lagu anak-anak Dakochan. Sama. Tidak ada nama pencipta.

Baru belakangan disadari: melodinya 100 persen sama dengan "What a Friend We Have in Jesus."

Dr CS Hutasoit pun menegaskan lewat surat pembaca di Harian Kompas.
Menurutnya, ini bukan sekadar mirip. Tapi persis.
Dan jemaat HKBP di Tanah Batak sudah menyanyikan lagu ini jauh sebelum kata "Ibu Pertiwi" populer.

Dalam Buku Ende HKBP nomor 219, judulnya "Ise do Ale-alenta."
Dalam Kidung Jemaat nomor 453, judulnya "Yesus Kawan Sejati."

Melodi: Converse.
Syair: Scriven.

Lalu siapa yang menulis lirik "Ibu Pertiwi"?
Itulah misterinya.

Sampai sekarang belum ada jawaban pasti.
Nama Ismail Marzuki? Tidak terbukti.
Nama Kamsidi Samsudin? Juga tak jelas.

Yang pasti, lagunya bukan lahir dari bumi Nusantara.
Tapi dari kesedihan seorang pria di Irlandia.

Joseph M. Scriven. Lahir 1820.
Ia hampir menikah. Tapi tunangannya tenggelam sehari sebelum pernikahan.
Ia pindah ke Kanada. Bertunangan lagi. Tapi tunangannya meninggal sebelum menikah.

Scriven nyaris tenggelam dalam duka. Tapi ia bertahan.
Ia menulis puisi untuk ibunya di Irlandia.
Puisi itu berisi doa, penghiburan, dan keyakinan bahwa Yesus adalah sahabat sejati manusia.

Puisi itulah yang kemudian berubah menjadi lagu gereja.
Dan entah bagaimana, sampai juga ke telinga anak-anak TK di Indonesia dalam bentuk "Ibu Pertiwi."

Di sinilah keajaibannya.

Lagu yang bukan ciptaan kita.
Lagu yang lahir dari duka di tanah jauh.
Tapi justru menjadi lagu yang paling dalam menggetarkan hati bangsa ini saat bencana datang.

Apakah itu salah?

Mungkin tidak.
Karena lagu, setelah beredar di dunia, bisa menjadi milik siapa saja.
Karena syair baru bisa memberi makna baru.
Karena melodi bisa berpindah nasib, dari gereja di Eropa, ke surau di Indonesia.

Dan mungkin itulah takdirnya.

Bahwa bangsa ini, yang sering bersusah hati, menemukan dirinya dalam lagu yang diciptakan seorang pria kesepian di abad ke-19.

Bahwa "Ibu Pertiwi" ternyata bukan ibu kita.
Tapi sudah kita anggap ibu sendiri. (RD)

Editor : Ardhia Tap

Liputan
Berita Populer
Sabtu, 11 Okt 2025 12:43 WIB
Berita Terbaru