Tujuhpagi.com – Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, anak muda Temanggung menunjukkan bahwa merokok bukan sekadar kebiasaan. Mereka tidak sekedar merokok.
Mereka memilih, meracik dan mencicip tembakau lokal. Ini bukan gaya hidup Jakarta. Bukan juga tren instan dari media sosial.
Baca juga: Tembakau, Simbol Kehidupan dan Kebanggaan Temanggung
Tapi dari warung-warung kecil, dari kios-kios tembakau yang makin menjamur di setiap sudut kota dan desa.
Inilah cara anak muda Temanggung merayakan warisan. Dengan jemari yang terampil, mereka melinting tembakau campur cengkeh. Ada yang menambahkan sedikit “srintil” tembakau legendaris yang kualitasnya disebut-sebut terbaik di dunia.
Budaya Meracik di Kios Tembakau
Reza, salah satu pemuda setempat, mencontohkan bagaimana proses ini menjadi ritual sehari-hari.“Kalau mau ngerasain tembakau nomor satu, ya ke Temanggung. Cuma di sini bisa dapet yang begitu,” kata Reza, 24 tahun, sambil melinting di bawah pohon trembesi.
Reza bukan petani. Dia tidak punya ladang tembakau. Tapi tiap sore dia nongkrong di kios tembakau milik Pak Dirjo.
Membeli dalam jumlah kecil, mencampur, mencoba, mencium, lalu menyulut. Ia, seperti banyak rekan sebayanya, rajin berkumpul di kios tembakau, tempat racikan tembakau menjadi seni tersendiri, mirip dengan seni penyeduhan kopi spesialti
Tembakau Lokal yang Dibanggakan
Basiran mengungkapkan bahwa tembakau berkualitas terbaik di Temanggung dijaga dengan bangga oleh penduduk lokal. Petani Tembakau di Temanggug sedang memilih dan memilah hasil panen. (Foto: Julian)
Namun, apa yang membuat Temanggung istimewa bukanlah luas ladang tembakau yang mencapai 14 ribu hektare, melainkan siapa yang menghirupnya dan bagaimana mereka menghormatinya.
“Yang kualitas atas, ya untuk lokal. Kita yang nikmati. Yang kelas dua, lempar ke luar,” kata Basiran, pemuda lain yang kutemui di kios tembakau pinggir Jalan Tentara Pelajar.
Baca juga: Kios Kecil, Aroma Besar: Revolusi Sunyi dari Temanggung
Mungkin, kalimat itu terdengar pongah. Tapi ada fakta di belakangnya. Tembakau terbaik dari Temanggung, terutama jenis srintil, dihargai mahal di pasar internasional. Bahkan sering dilelang dalam ritual yang hampir sakral.
Tapi anak muda Temanggung tetap bisa menikmatinya. Karena mereka tahu cara memilih. Dan karena pedagang tembakau di sini lebih seperti penjaga rasa ketimbang sekadar penjual.
Tren Linting sebagai Gaya Hidup Baru
“Pembeli boleh nyoba dulu. Campur ini itu. Kalau cocok, baru bungkus,” kata Agung, staf promosi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Temanggung.Menurut Agung dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Temanggung, perubahan gaya hidup ini semakin menguat di masa pandemi. Banyak anak muda yang beralih ke tembakau linting dan menemukan cita rasa yang lebih otentik, meninggalkan tren rokok modern yang lebih mahal.
“Sejak 2018-2019 mulai terlihat. Tapi meledak saat pandemi. Banyak anak muda beralih ke linting karena lebih murah. Tapi ternyata, setelah tahu rasanya, mereka nggak mau balik,” katanya. Yang dimaksud “balik” itu bukan ke rokok filter. Tapi ke vape.
Menghormati Warisan Lewat Tradisi Baru
Pandemi saat itu memang membatasi mobilitas. Namun ironi ini justru membawa anak-anak muda lebih dekat dengan akar budaya mereka. Akibatnya, lahir sebuah lanskap baru di Temanggung, di mana tradisi meracik tembakau kini dihormati sebagai bagian dari identitas lokal.Di samping bukit-bukit tembakau, tumbuh kios-kios kecil berisi aroma nikmat dari berbagai jenis daun kering.
Di sana anak-anak muda belajar meracik. Belajar menghormati cita rasa. Dan pelan-pelan, membangun gaya hidup baru: tembakau linting yang lokal, personal, dan penuh kebanggaan.
Di era digital ini, tak semua tren harus datang dari layar. Ada yang tumbuh dari tanah. Dari tangan-tangan petani. Dari warisan yang tak pernah dijual di e-commerce. Temanggung menghadirkan lanskap baru dimana anak muda belajar meracik.
Kala dunia sibuk dengan tren digital, di sini tradisi berakar kuat dari tanah ditemani tangan-tangan petani. Saat pandemi melanda, ternyata ini menjadi momen sempurna bagi anak muda untuk lebih dekat dengan kampung halaman dan kekayaan lokalnya. (RD)
Editor : Ardhia