Tujuhpagi.com - Udara pagi yang sejuk setelah hujan menyelimuti Surabaya, menyajikan suasana tenang yang langka. Seorang perempuan duduk dalam keheningan doa di sebuah gereja, bercakap dengan semesta dalam suasana sakral sebuah bangunan yang berusia ratusan tahun.
Pernahkah Anda merasa seolah waktu berhenti? Tepat di tengah hiruk-pikuk Surabaya, Gereja Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria berdiri kokoh sebagai saksi bisu perjalanan waktu sejak tahun 1899. Menara tinggi menjangkau langit, dihiasi ornamen Eropa dengan bata merah yang diimpor langsung dari Belanda menambah keanggunannya.
Baca juga: Mengenal Paulus Jauhari Atmoko, Penggerak Transformasi Gereja Merawat Bumi
Umat sedang berdoa di dalam Gereja dengan suasana syahdu. (Foto: Robertus Rizky)
Menurut Romo Paulus Jauhari Atmoko, CM, kepala paroki, keindahan gereja ini bukan hanya pada arsitekturnya, tetapi pada umat yang hidup dan beribadah di dalamnya.
"Tanpa umat, ini hanyalah bangunan. Kehidupan dan kebersamaan merekalah yang membuat gereja ini hidup," katanya, menyampaikan pesan bahwa manusia adalah esensi dari setiap tempat ibadah.
Pengaruh Arsitektur Eropa di Indonesia
Gaya Neo-Gotik yang dibawa oleh Belanda mempengaruhi banyak bangunan di Indonesia, termasuk gereja ini. Dirancang oleh arsitek W Westmaas pada tahun 1889, gereja ini memiliki ciri khas bangunan ramping dan menjulang. Pilar-pilar kayu galam dari Kalimantan dipasang pertama kali pada 18 April 1899, meletakkan dasar bagi struktur kokoh ini. Desain lengkungan runcing, Pilar gereja yang kokoh dan besar serta Jendela kaca patri, dan ukiran rumit menghiasi bangunan. Arsitektur ini memberikan kesan megah dan sakral pada gereja. (Foto: Robertus Rizky)
Baca juga: Doa Rosario di Surabaya: Mengenang Paus Fransiskus dengan Cinta
Setelah peletakan batu pertama pada Agustus 1899, gereja ini bertahan hingga sekarang meskipun mengalami kerusakan akibat kebakaran tahun 1948. Pada tahun 1950, gereja direnovasi dan menara gereja yang menjulang setinggi 15 meter ditambahkan kembali pada tahun 1996. Pemugaran ini memberikan gereja tampilan yang lebih segar, sekaligus menjaga elemen klasik Neo-Gotik yang memadukan keindahan klasik dan elemen kontemporer.
Sejarah dan Tantangan
Romo Jo menceritakan bahwa selain menjadi cagar budaya, gereja ini juga merupakan simbol kebanggaan. Meski demikian, gereja menghadapi tantangan dengan menyusutnya populasi jemaat karena banyak keluarga muda berpindah ke area yang lebih modern. Namun, daya tarik gereja ini tetap memikat banyak pelancong karena nilai historis dan keindahan arsitekturnya. Selain Lengkungan besar pada atap gereja, Jendela kaca patri yang berwarna-warni memberikan kesan religius dan magis. Kaca patri ini tidak hanya berfungsi untuk mempercantik gereja, tetapi juga untuk memaksimalkan pencahayaan alami. (Foto: Robertus Rizky)
Ketika kapal pesiar berlabuh di Tanjung Perak, para wisatawan tak melewatkan kesempatan untuk mengunjungi gereja ini. “Mereka datang tidak hanya untuk berfoto, tetapi juga untuk mencari ketenangan dan merasakan sejarah yang hidup di balik dinding-dindingnya,” ujar Romo Jo.
Esensi Neo-Gotik dalam Warisan Sejarah
Arsitektur Neo-Gotik yang memadukan keindahan klasik dan elemen kontemporer menambah pesona gereja ini. Batu bata merah tua menjadi saksi bisu yang nyaris mencapai dua abad, membentuk warisan berharga Surabaya.Gereja ini adalah lebih dari sekadar destinasi sejarah; ia mewakili perjalanan spiritual dan budaya yang kehidupan dan pelestariannya tetap berdetak hingga kini.
Tembok batu bata klasik Eropa digunakan dalam pembangunan gereja. Berusia hampir 2 abad, kini warna batu batanya menjadi lebih indah seperti merah bludru memberikan kesan arsitektur Eropa yang kental. (Foto: Robertus Rizky)
Merayakan Yubileum: Menghormati Perjalanan
Tahun ini, perayaan Yubileum diadakan, bukan sekadar untuk bangunan, tetapi sebagai pengakuan atas peran gereja dalam menyebarkan kasih. Gereja ini membuka pintunya sebagai gerbang menuju kedamaian dan keselamatan bagi semua jiwa yang mengunjunginya.Apakah Anda tertarik untuk mengunjungi dan merasakan bagaimana keindahan spiritual dan estetika menyatu dalam sejarah yang masih hidup? (AP/RR)
Editor : Ardhia