Tomboan Ngawonggo, Pulang ke Masa Lalu

Reporter : Ardhia
Tomboan Ngawonggo, tempat pulang di tengah hutan. (Foto: Julian)

TUJUHPAGI.COM - Tidak ada tiket masuk. Tidak ada loket. Tidak ada karcis. Tapi jangan salah—Tomboan Ngawonggo bukan tempat yang gratis. Ia dibayar dengan rasa. Rasa syukur, rasa tenang, rasa pulang. Sebuah tempat 'pulang' di tengah hutan.

Saya sampai ke tempat ini tanpa ekspektasi. Hanya petunjuk dari warga bahwa ada “tempat adem” di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan. Tiga puluh menit dari Kota Malang. Dekat sekali, tapi terasa jauh dari kota.

Begitu kaki menginjak tanahnya, suasana berubah. Tidak ada suara klakson. Tidak ada aroma knalpot. Hanya angin, gemerisik bambu, dan senyum warga yang menyambut seperti menyambut kerabat yang lama tak pulang.

Tapi seperti tempat ini sejak awal: ia tidak menahan. Ia membiarkan saya pergi dengan satu bekal: kerinduan untuk kembali. (Foto: Julian)

Sejarah dan Nilai di Balik Tomboan Ngawonggo

Namanya Tomboan. Dalam bahasa Jawa artinya tempat beristirahat. Tapi istirahat di sini bukan sekadar duduk. Ini istirahat yang membuat tubuh tenang, hati tenteram, dan pikiran bersih dari notifikasi.

Tomboan Ngawonggo bukan wisata buatan. Ia tumbuh dari sejarah. Dari tanah yang menyimpan peninggalan Mpu Sindok, raja Mataram Kuno abad ke-10. Ada petirtaan kuno. Ada yoni. Dulu tak dikenal orang. Baru pada 2017, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur meneliti dan mengakuinya. Dan pada 2020, warga membukanya untuk umum. Dengan cara mereka sendiri.

Warga tidak membangun kafe. Tidak membuat wahana selfie. Mereka justru menjaga agar tempat ini tetap seperti dulu. Seperti masa kecil kita: sederhana, bersih, dan bersahabat.

Makanan disajikan bukan di piring keramik mahal. Tapi di daun. Di bakul bambu. Ada emblem, tiwul, dan ongol-ongol. Serta wedang uwuh yang lebih menyembuhkan daripada paracetamol-obat sakit kepala.

Tomboan Ngawonggo bukan tempat yang gratis. Ia dibayar dengan rasa. Rasa syukur, rasa tenang, rasa pulang. (Foto: Julian)

Konsep Unik Tomboan Ngawonggo: Tempat 'Pulang' yang Tidak Biasa

Tidak ada harga. Tidak ada kasir. Hanya kotak kecil bertuliskan “Bayar seikhlasnya.”

Saya sempat mengira ini hanya strategi marketing. Tapi setelah melihat sendiri, saya percaya: ini sungguhan. Orang datang bukan untuk konsumsi, tapi untuk mengalami. Untuk mengingat bahwa makan bukan hanya soal kenyang, tapi juga soal nilai.

“Orang datang ke sini bukan untuk berfoto, tapi untuk mengingat,” kata Fatkhur Rozi, salah satu pengelola Tomboan.“Bahwa hidup itu tidak harus ramai. Tidak harus cepat. Kadang justru yang pelan itu yang menyembuhkan.”

Saya hanya diam. Kalimat itu terlalu jujur untuk sekadar dilewatkan.

“Dan kami tidak ingin tempat ini hanya jadi objek wisata,” lanjutnya.“Kami ingin Tomboan jadi ruang belajar tentang sejarah, tentang alam, dan tentang hidup sederhana.”

Yang lebih menarik, tempat ini tidak menghasilkan sampah. Tidak satu pun botol plastik terlihat. Tidak ada sedotan. Semua limbah diolah. Kompos, daur ulang, eco-enzyme. Warga di sini tak banyak bicara soal go green—mereka langsung mempraktikkannya.

Tomboan Ngawonggo bukan tempat untuk berteriak. Ia tempat untuk mendengar, merenung, dan menghubungkan diri dengan alam dan spiritualitas. Suara-suara yang meramaikan pikiran dan hati kita menjadi lebih jernih ketika kita memberi kesempatan untuk mendengarkan dengan penuh perhatian.

Saat matahari mulai turun, saya tidak ingin pulang. Tapi seperti tempat ini sejak awal: ia tidak menahan. Ia membiarkan saya pergi dengan satu bekal: kerinduan untuk kembali. (RD)

Editor : Ardhia

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru