Mengenal Paulus Jauhari Atmoko, Penggerak Transformasi Gereja Merawat Bumi

Reporter : Ardhia
Romo Jo (dua kiri) merawat tanaman di Kebun Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria, Surabaya. (Foto: Robertus Rizky)

Tujuhpagi.com - Adalah Romo Paulus Jauhari Atmoko, pria kelahiran Kediri pada 23 Maret 1975, yang menggerakkan transformasi hijau di Gereja Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Surabaya. Gereja bukan sekadar tempat berdoa, tetapi juga simbol cinta untuk bumi.

Romo Jo, begitu ia akrab disapa, menggambarkan bahwa altar gereja seharusnya menjadi representasi kehidupan yang subur. Bunga potong yang sebelumnya menjadi penghias kini digantikan oleh tanaman hidup yang segar.

Baca juga: Napas Panjang Kisah Gereja Tertua di Surabaya

Dengan pemikiran yang diperkaya dari Papua Barat hingga Chicago, Romo Jo mempraktikkan ajaran Laudato Si’ dari Paus Fransiskus. Menjadikan setiap tanaman sebagai simbol nyata dari cinta pada alam.

“Sekarang aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku." Kata Romo Jo mengingat kembali motto panggilan imamnya.

Laki – laki berkacamata itu menjelaskan bahwa melalui setiap daun yang ditanam, ajaran Laudato Si’ dari mendiang Paus Fransiskus akan menyentuh bumi dengan nyata.

Pakaian Lekas Ganti, Hati Tetap Melayani

Jika Jumat tiba, saat umat datang kegereja, mungkin bukan jubah mewah yang akan dikenakannya, melainkan kaos oblong dan sandal jepit penuh debu. Baginya, melayani juga berarti merawat bumi.

Menghidupkan tanah yang mungkin sekilas tampak alpa dari pandangan. Dia bertekun dengan banyak tanaman. Tangan yang biasa ia gunakan untuk berdoa, sementara bertaut dalam merawat bunga dan pepohonan gereja.

Satu tahun lalu, gereja ini sengaja dihijaukan. Pada sisi samping gereja, ia membangun ’hutan‘ mini buatan. Tempat perawatan tanaman yang difungsikan menggantikan bunga potong dengan tanaman hidup di altar.

Romo Jo memberikan makan marmut di Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria, Surabaya. (Foto: Robertus Rizky)

Baca juga: Doa Rosario di Surabaya: Mengenang Paus Fransiskus dengan Cinta

Lebih dari itu, Ia mengubah taman mini di halaman depan gereja menjadi oasis kecil dengan marmut dan kelinci sebagai penduduknya.

Umat yang datang tak sekadar memandang, tetapi juga merasakan detak kehidupan yang lain dari biasanya—koneksi yang mengingatkan kita akan semesta yang harus dijaga.

Sepertinya, Romo Jo bukan hanya pendoa. Ia memiliki visi kedepan. Sebab dengan memilih menggunakan tanaman hidup sebagai penghias gereja, Langkah itu bisa memangkas biaya dekorasi hingga Rp 24 juta per tahun.

Romo Jo mengecek kondisi tanaman yang menghias altar gereja. (Foto: Robertus Rizky)

Uang yang kemudian menjadi kepingan harapan baru bagi banyak program sosial. Betapa langkah sederhana ini memiliki dampak yang melampaui keindahan visual. Keberlanjutan tak harus melulu mahal.

Dengan caranya yang lembut namun penuh tekad, Romo Jo mengajak setiap dari kita untuk membangun mimpi hijau bersama. Ini bukan hanya soal tanaman, melainkan soal bagaimana kita bisa hidup selaras dengan bumi tempat kita berpijak.

Editor : Ardhia

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru