TUJUHPAGI - Terletak di lereng Gunung Merapi, Museum Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta menjadi destinasi wisata sejarah yang menggetarkan jiwa. Ketika pengunjung menapaki jalan menanjak, mereka merasakan aroma dedaunan basah yang menyegarkan dan sejuk, seolah vegetasi alam di kiri dan kanan menyambut kedatangan mereka.
Napak Tilas Mbah Maridjan
Museum ini dulunya merupakan rumah yang ditempati oleh Mbah Maridjan. Pada Jumat (31/5/2025) siang, museum ini diserbu banyak pelancong yang tertunduk terdiam dalam kekaguman dan rasa haru. Kenangan tahun 2010 berangsur memenuhi benak mereka, mengingat hari ketika mata dunia tertuju pada peristiwa duka di Mandrageni, nama lama daerah kaki Gunung Merapi ini. Museum Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. (Foto: Robertus Rizky)
Hari itu menjadi momen memilukan bagi masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Merapi, yang dahulu disebut Mandrageni. Letusan Gunung Merapi menyisakan sepenggal kisah yang tak mudah dilupakan.
Gugusan debu vulkanik yang menyebar meninggalkan jejak - jejak abadi, salah satunya yang dihuni oleh jiwa yang tulus menjaga bumi. Ia adalah Mas Penewu Suraksohargo, atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Maridjan.
Sebagai juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan mengabdikan hidupnya dengan dedikasi. Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Merapi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1982. Ia dikenal sebagai penjaga spiritual Gunung Merapi yang tak pernah gentar, bahkan saat bencana datang.
Salah satu sudut petilasan rumah mbah Maridjan. (Foto: Robertus Rizky)
Tragedi Letusan Gunung Merapi
Pada 26 Oktober 2010, letusan dahsyat Gunung Merapi meninggalkan jejak kehancuran sekaligus kenangan abadi. Struktur bangunan sederhana seluas 6x10 meter yang dahulu menjadi rumah Mbah Maridjan kini berdiri sebagai saksi bisu dari keberanian dan kesetiaan.Mas Penewu Suraksohargo, lebih dikenal sebagai Mbah Maridjan, adalah sosok yang menjaga spiritual Gunung Merapi. Dia diangkat sebagai juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1982. Hingga detik terakhir hidupnya, Mbah Maridjan menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan saat bencana datang.
Koleksi Gamelan yang terdapat di salah satu sudut petilasan rumah mbah Maridjan. (Foto: Robertus Rizky)
Lutfiati, seorang pengunjung asal probolinggo dengan penuh takjub dan haru menyaksikan sisa sisa keperkasaan alam yang tak terbantahkan.
“Berarti awan panas itu panas sekali, ya. Mobil saja bisa seperti itu…” ungkap Lutfiati.
Di sudut tempat yang penuh kenangan ini, terdapat lapak kecil yang menjual kudapan ringan, teh, kopi, dan cendera mata khas Gunung Merapi. Wanita paruh baya yang menjaganya adalah putri mendiang Mbah Maridjan.
Dalam percakapan singkat, Panut, anak sang juru kunci, menjelaskan, "Makam bapak bukan di sini, Mas. Tapi di Serunen, tiga kilometer dari sini. Ini cuma petilasan. Di sini bapak sujud dan meninggal."
Warisan Keberanian
Debu letusan tidak hanya membawa duka bagi keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga mengabadikan senyuman hangat dan keikhlasan sang kuncen dalam memori kolektif kita. Senyum Mbah Maridjan diabadikan dalam memori kolektif kita, bersama jargon populernya, "Roso... Roso!" yang menggambarkan keberaniannya.Kini, meski raganya telah tiada, ajarannya tentang keberanian, tanggung jawab, dan cinta terhadap tanah kelahiran terus hidup dalam hati kita. Di tengah keheningan Merapi, terdengar lirih pesan bahwa tugasnya telah usai, dalam dekapan gunung tercinta. (RR)
Editor : Ardhia