Tujuhpagi.com - Kalau saja Raden Wijaya tidak punya strategi cerdik, mungkin tidak ada yang namanya Surabaya seperti yang kita kenal hari ini. Mungkin kita akan lebih mengenal Mandar, Mataram, atau Mojopahit versi Mongol. Tapi tidak. Karena pada 31 Mei 1293, di sebuah tanah rawa yang waktu itu masih lebih banyak buayanya daripada manusianya, sejarah ditulis.
Di Hari Jadi Kota Surabaya yang ke-732, kita tidak hanya merayakan angka atau tanggal, tapi jiwa perlawanan yang ditorehkan oleh Raden Wijaya. Langkah cerdiknya menghadapi tantangan yang mendebarkan telah membentuk fondasi kota ini. Dalam setiap sudut, dari Balai Kota hingga gang-gang sempit, riuhnya perayaan mencerminkan semangat dan kebanggaan akan sejarah yang kita warisi.
Baca juga: Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh
Dan hari ini (Sabtu, 17/05/2025) 732 tahun kemudian, sejarah itu masih kita rayakan. Riuhnya di mana-mana. Dari balai kota sampai gang-gang sempit. Dari jalanan elite seperti Tunjungan sampai lorong kecil di kampung Tambak Bayan. Ada pasar malam, ada festival kuliner, ada konser musik, dan tentu saja yang paling Surabaya banget ada parade budaya penuh semangat.
Saya pernah tanya pada seorang pemuda di Jalan Walikota Mustajab, “Kenapa kamu ikut lomba mural untuk HJKS?” Dia jawab: “Arek Suroboyo iku kudu wani nguri-uri sejarah.” Saya tersentak. Anak muda yang lebih akrab dengan cat semprot dan kuas itu tahu betul makna di balik HJKS. Ini bukan ulang tahun biasa. Ini adalah hari perlawanan. Hari kemenangan. Hari ketika siasat mengalahkan kekuatan.
Perjalanan Sejarah Hari Jadi Surabaya
Dulu, Surabaya hampir merasakan kehilangan jati dirinya. Di tengah masa kolonial, Belanda menetapkan 1 April 1906 sebagai hari jadi kota, berdasarkan sebuah weton pendirian Gemeente Soerabaia. Namun, tanggal itu dianggap sebagai titik mati rasa, tanpa mengandung semangat perjuangan. Itu hanyalah angka administratif dalam surat keputusan kolonial.Beruntung, pada tahun 1975, para sejarawan dan budayawan Surabaya memutuskan untuk menggali lebih dalam lagi. Mereka menolak menerima sejarah yang diberikan dari atas, dan memilih untuk mencari ke dalam tanahnya sendiri, menyelami naskah-naskah kuno, cerita rakyat, babad, dan akal sehat. Hasilnya? Ditetapkanlah 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya, merujuk pada kemenangan Raden Wijaya melawan Mongol. Sejarah itu akhirnya kembali ke pangkal jalan yang sebenarnya.
Sorotan Kemeriahan: Suasana Penuh Semangat di Parade Budaya Surabaya Menyambut HJKS ke-732. (Foto: Julian)
Tapi Surabaya tidak hidup dari sejarah semata. Kota ini tidak pernah mau diam terlalu lama di masa lalu. Lihat saja, dalam peringatan HJKS ke-732 ini, seluruh lini digerakkan. UMKM diberi panggung. Musik jalanan naik ke panggung utama. Jembatan merah dihias, tapi yang lebih penting: semangat gotong royongnya hidup.
732 Tahun Perlawanan, Kemenangan, dan Semangat Kebangkitan
Dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-732, Surabaya tidak hanya menghormati sejarahnya; ia juga mengajak seluruh warganya untuk terus berjuang melawan musuh-musuh baru: kesenjangan, intoleransi, dan kemalasan. Sebuah panggilan yang merajut kisah perlawanan dan semangat kemerdekaan yang mengalir sejak zaman Raden Wijaya menghadapi pasukan Mongol hingga saat ini.Saya melihat sendiri di Kelurahan Sawahan, anak-anak muda membuat festival mini. Ada panggung, ada tarian, ada kuliner dari ibu-ibu PKK. Tidak dibiayai APBD. Tidak juga disokong sponsor besar. Tapi semangatnya? Melebihi panggung-panggung besar.
Baca juga: Surabaya Semakin Mantap Jadi Kota Teknologi, iSTTS Sukses Gelar Workshop Deep Learning Bareng NVIDIA
Surabaya adalah kota yang aneh. Dia bisa menangis saat mendengar pidato Bung Tomo, tapi juga bisa tertawa lebar saat melihat barongsai nari di pasar malam. Dia keras, tapi hangat. Galak, tapi penuh cinta. Kota yang tidak menunggu jadi hebat, karena memang sudah hebat.
Banyak orang luar mengira gelar “Kota Pahlawan” hanya karena 10 November. Mereka lupa, Surabaya punya daftar panjang pejuang yang dilahirkan dari rahim tanah ini. Bung Tomo, sang orator. KH Mas Mansur, ulama sekaligus negarawan. Gubernur Suryo, yang mati dibantai PKI tapi tetap tersenyum dalam foto-foto sejarah. Dan tentu saja, Mayjen Sungkono, pahlawan yang tidak pernah takut pada peluru.
Tapi pahlawan Surabaya bukan hanya yang tercetak dalam buku sejarah. Tukang becak yang mengantar anak sekolah gratis, relawan banjir, guru TK yang tetap mengajar di gang sempit mereka semua pahlawan. Mereka semua bagian dari cerita besar yang disebut: Surabaya.
Semangat Juang yang terus menyala: Kilasan Perayaan Parade Budaya HJKS di Surabaya. (Foto: Julian)
Panggilan Surabaya untuk Bangkit Bersama Melawan Musuh Baru
HJKS ke-732 adalah lebih dari sekadar peringatan. Ini adalah ajakan. Ajakan untuk terus melawan bukan musuh dengan senjata, tapi musuh baru: kesenjangan, intoleransi, dan kemalasan. Ini adalah panggilan untuk bangkit bersama, seperti Raden Wijaya mengajak pasukan Mongol untuk sama-sama melawan Jayakatwang—dan kemudian menunjukkan siapa pemilik tanah ini sesungguhnya.Baca juga: Jeratan Plastik: Ancaman Nyata untuk Kesehatan Masyarakat
Saya tahu, tidak semua orang bisa datang ke konser, atau ikut parade. Tapi semua orang bisa menjadi bagian dari Surabaya yang hebat. Dengan bekerja jujur, menjaga lingkungan, membantu tetangga dan tidak menyerah pada keadaan.
Surabaya mungkin sudah 732 tahun. Tapi ia belum tua. Ia masih keras kepala. Masih tidak mau tunduk. Masih suka mengajak orang bertengkar—untuk hal-hal yang benar.
Surabaya, sebuah kota yang aneh namun indah, keras namun hangat, galak namun penuh cinta. Dari Balai Kota hingga Ujung Galuh, Surabaya tetap menjadi satu: berani. Sebuah kota yang mengajarkan kita arti sejati dari perlawanan, persatuan, dan keberanian. Selamat ulang tahun, Surabaya, kota penuh semangat dan keberanian! (RD)
Editor : Ardhia