TUJUH PAGI - Desiran ombak di pesisir utara Jawa Timur menjadi saksi bisu keluhan yang kian menggumpal dari para nelayan Desa Palang, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Di balik senyum yang selalu disiapkan saat pulang membawa tangkapan laut, ada kekecewaan mendalam terhadap kondisi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang menjadi urat nadi ekonomi mereka.
Sudah bukan rahasia lagi, sebagian besar nelayan dari desa ini kini memilih TPI Brondong di Kabupaten Lamongan sebagai tempat membongkar hasil laut mereka. Sebuah keputusan yang bagi sebagian orang mungkin sekadar strategi bisnis, namun bagi para nelayan, ini adalah bentuk protes senyap terhadap sistem yang dianggap tak memihak.
Suasana TPI Palang di Tuban (Foto: Julian).
Bayar Belakangan, Beban di Depan
Adalah Irwan Wahyudi, nelayan asal Palang, yang membuka suara tentang masalah ini. Ia menyoroti sistem pembayaran yang diterapkan di TPI Palang. Menurutnya, nelayan tak bisa langsung menerima uang hasil tangkapan. Dana baru cair setelah ikan laku di pelelangan."Itu jelas sangat menyusahkan kita para nelayan, soalnya hasil penjualan ikan itu kan bukan hanya untuk pribadi tapi juga untuk para Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja," ujar Irwan kepada media. Ia menambahkan, jika harus menunggu lama, dapur para ABK bisa tak mengepul.
Di Brondong, sistemnya berbeda. Begitu ikan ditimbang, nelayan langsung menerima uang. Tak ada drama menunggu, tak ada tarik ulur. Maka tak heran, mayoritas nelayan Palang kini setia bersandar di Brondong meski harus menempuh jarak lebih jauh.
Suasana TPI Palang di Tuban. (Foto: Julian)
Kontribusi PAD yang Terpinggirkan
Ironisnya, para nelayan ini adalah penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan. Namun, fasilitas yang mereka terima jauh dari kata layak. Menurut Irwan, seharusnya pemerintah memberi perhatian lebih, bukan menuntut mereka terus mandiri tanpa dukungan memadai.Hal ini diamini oleh Kepala Desa Palang, As’ad. Ia tak menampik bahwa TPI Palang membutuhkan banyak pembenahan, baik dari sisi pengelolaan maupun fasilitas. “70 persen nelayan kita itu bersandarnya di TPI Brondong, karena memang kegiatan pelelangan ikan tak memadai di TPI sini,” ungkapnya.
Tak hanya nelayan yang terdampak. Ibu-ibu di sekitar TPI Palang, yang biasanya mendapat pekerjaan menyortir ikan, kini kehilangan penghasilan. Padahal, satu kapal saja membutuhkan setidaknya enam puluh tenaga penyortir.
Para Penyortir Ikan di TPI Palang Tuban. (Foto: Julian)
Karangagung Tak Lebih Baik
Desa tetangga, Karangagung, juga bernasib serupa. Di sana, keluhan terpusat pada kondisi dermaga yang tak menjorok ke laut. Kapal kesulitan sandar, terlebih saat air surut. Padahal, proyek pengerukan senilai Rp1,4 miliar dari APBD sudah dilaksanakan pada 2024 oleh CV Bumi Konstruksi.Sayangnya, hasilnya belum terasa. Nelayan meminta pengerukan lanjutan agar akses sandar lebih mudah. “Harapannya ya boom dikeruk, Mas,” ujar nelayan secara kompak saat ditemui wartawan.
Evaluasi yang Belum Berbuah
Ketika persoalan ini dilayangkan ke Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan (DKP2P) Kabupaten Tuban, Kepala Dinas Eko Julianto hanya memberikan jawaban singkat. “Kalau soal keluhan TPI Palang itu sedang kami evaluasi, Mas,” tulisnya lewat pesan WhatsApp.Ia menyebut akan menggelar rapat koordinasi, namun belum bisa merinci soal besaran PAD yang diterima dari aktivitas nelayan di Palang dan Karangagung. “Saya tidak membawa data,” pungkasnya.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Nelayan bukan sekadar pencari ikan. Mereka adalah penjaga peradaban pesisir, pilar ekonomi lokal, dan pekerja keras yang hidupnya bergantung pada ombak dan angin. Ketika tempat bersandar mereka tak lagi memihak, pilihan berlayar lebih jauh menjadi keharusan. Para Nelayan yang terus berharap kehidupannya pada laut dan ombak. (Foto: Julian)
Namun, akankah suara mereka cukup kuat untuk mengubah sistem? Ataukah akan terus terombang-ambing dalam badai kebijakan yang tak menyentuh akar masalah? Yang jelas, nelayan Palang kini butuh lebih dari sekadar janji mereka menunggu bukti. (RD)
Editor : Ardhia