Sujud, Rapal Doa Para Penghayat di Kolong Langit Surabaya

Reporter : Ardhia
Di Sanggar Candi Busana, suasana temaram dan udara sejuk. Para penghayat kepercayaan Sapta Darma tengah larut dalam doa dan sujud. Tujuhpagi.com/Robertus Rizky.

Tujuhpagi.com — Hujan rintik  menyambut saya di Sanggar Candi Busana, malam itu. Di tempat ini, komunitas penghayat kepercayaan Sapta Darma berkumpul dalam keheningan malam.

Suasana Sanggar Candi Busana terasa syahdu, angin malam menyapa lembut kulit punggung tangan saya. Saat saya mengabadikan momen mereka sujud dan berdoa menghadap timur, yang terekam bukan sekedar bayang ritual, tetapi merupakan cermin dedikasi dan keutuhan yang menyatu dengan semesta.

Mengungkap Makna Sujud: Lebih Dari Sekadar Gerakan Ritual

Bagi sekelompok jiwa yang memilih hening, mereka tak sekedar diam. Mereka menata hati, menyelami batin dan menghadapkan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta-sebuah jalan sunyi yang penuh makna, menyatukan mereka dalam ruang abadi yang melampaui kata-kata.

Kumpul Jumat di Sanggar Candi Busana: Bersama dalam Sujud dan Meditasi Rohani. Tujuhpagi.com/Robertus Rizky.

Sujud bagi mereka bukan sekadar gerak tubuh, melainkan simbol dari tiga makna penting. Pertama, sujud menandakan sikap tunduk dan taat kepada Tuhan yang Maha Esa. Melalui tindakan ini, manusia diingatkan akan kebesarannya dan pentingnya keselarasan dengan kehendak Illahi.

Kedua, sujud menjadi momen pengakuan atas segala kesalahan di hadapan Sang Maha Kuasa. Ini adalah pengingat bahwa setiap individu bersifat fana dan tidak lepas dari kekhilafan.

Ketiga, sujud mengandung usaha berharga dalam bertobat, yakni komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Dalam ritual ini, setiap gerakan dan doa bukan sekadar tindakan, tetapi refleksi mendalam akan hubungan manusia dengan alam semesta dan Sang Pencipta.

Jalan Sunyi Namun Bermakna: Simbolisme dan Spiritualitas dalam Penghayatan Kepercayaan

Seperti halnya hak asasi yang dijamin negara, kebebasan untuk memiliki dan memeluk keyakinan seharusnya menjadi milik setiap individu. Harapan besar komunitas ini adalah agar kerukunan antarumat beragama tetap terjaga, menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai.

Sayangnya, dalam realitas sehari-hari, para penghayat sering kali masih menghadapi diskriminasi dan penolakan.

Tantangan tersebut tidak memadamkan semangat mereka dalam memperjuangkan kebebasan berkeyakinan, dan terus berupaya untuk mewujudkan visi bersama akan masyarakat yang lebih inklusif dan saling menghormati.

”Kami pernah mendapatkan diskriminasi dari ruang pendidikan, proses pemakaman, dan pendirian rumah ibadah sanggar, hingga pernikahan namun hal itu terjadi sebelum adanya regulasi-regulasi, kini perlahan berlangsung membaik," ujar Wakil Ketua Persada Suarabaya Dian Jennie Cahyawati.

"Harapan terbesar kami, hak berkeyakinan adalah hak sangat mendasar dan sangat privat sejak manusia dilahirkan, maka tugas negara melindungi hak penganut penghayat dan yang berkaitan dalam pelayanan publik," imbuh Dian Jennie Cahyawati.

Menemukan Kedamaian Melalui Meditasi: Kebangkitan Batin Para Penghayat

Perjalanan para penghayat memang tidak selalu mudah. Fransiskus Arys Prasetyo, seorang warga penghayat, mengaku sempat ditolak bahkan oleh kerabatnya sendiri.

“Ada yang menyamakan kami seperti aliran sesat. Padahal yang kami jalani adalah jalan sunyi yang penuh ketulusan,” katanya.

Bersama dalam Sujud dan Meditasi Rohani. Tujuhpagi.com/Robertus rizky.

Namun, dari jalan sunyi itu mereka menemukan kedamaian, ketaatan dan cinta. Setiap setiap Jumat para warga berkumpul bersama. Bersama, mereka bersujud. Bermeditasi, serta meresapi wejangan rohani.

Tentu tak hanya untuk meningkatkan spiritualitas antar umat, namun juga merefleksikan diri.

"Saya disini meditasi lama-lama, karena hidup jauh lebih baik dan pikiran jadi tambah tenang," ungkapnya.

Membangun Kehidupan Harmonis: Upaya Komunitas Sapta Darma dalam Memupuk Toleransi

Dengan total kurang lebih 15.000 ribu warga penghayat mereka terus menjalankan rutinitasnya meski hidup dalam lingkaran minoritas. Dalam keseharian, para penghayat berupaya menebar nilai-nilai toleransi.

Meski berbeda dalam kepercayaan dan cara beribadah, mereka membuka hati untuk memahami, berdampingan, dan menjaga harmoni dalam keberagaman.

Karena bagi mereka, spiritualitas bukan soal nama, tapi bagaimana manusia menyatu dengan kemanusiaan, dan saling menghormati dalam perbedaan. (RR)

Editor : Ardhia

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru