TUJUHPAGI.COM - Malam takbiran selalu meriah. Dulu, suara bedug menggema di langit, diarak keliling kampung, menandakan Idulfitri telah tiba. Kini? Bedug mulai tersingkir. Digantikan oleh dentuman sound horeg. Bahkan, ada yang pakai musik DJ. Takbir tetap berkumandang, tapi nadanya beda. Lebih bising. Lebih modern atau malah lebih liar? Yang pasti, malam takbiran sekarang lebih mirip pesta jalanan daripada tradisi lama yang syahdu.
Di beberapa daerah, terutama kota-kota besar, konvoi takbiran yang dulu diisi dengan tabuhan bedug dan takbir, kini berubah menjadi parade sound system raksasa. Mobil-mobil pikap dimodifikasi, dijejali speaker bertingkat, dengan lampu strobo yang berkedip-kedip. Di atasnya, anak-anak muda menggenggam mikrofon, meneriakkan takbir kadang diiringi musik EDM yang membuat dada bergetar.
Bedug? Mulai Ditinggalkan
Dedi, warga Jepara, hanya bisa geleng-geleng kepala."Takbiran itu harusnya sakral. Suara bedug bikin suasana lebih terasa. Sekarang malah seperti festival musik. Ada DJ, ada lampu warna-warni," keluhnya, Minggu, 30 Maret 2025.
Baginya, takbiran dengan bedug membawa kenangan masa kecil. Dulu, ia dan teman-temannya berebut memukul bedug di masjid, mengiringi gema takbir yang bergema ke seluruh kampung. Kini, yang terdengar bukan lagi suara bedug, melainkan bass menggelegar dari sound system.
Tapi, Riko, pemuda yang aktif di komunitas sound system, punya pandangan lain.
"Kenapa tidak? Zaman berubah. Anak-anak muda tetap takbiran, cuma caranya beda. Sound horeg bikin semangat. Kalau ramai, justru makin banyak yang ikut," ujarnya sambil tersenyum.
Bagi Riko dan teman-temannya, ini bukan sekadar tren. Ini adalah cara baru untuk menyalurkan semangat muda dalam beribadah. Mereka tak merasa melanggar apa pun, karena takbir tetap dikumandangkan. Hanya kemasannya yang berbeda.
Berbeda dengan Dedi dan Riko, Siti Aminah, ibu rumah tangga di Jepara, memilih bersikap di tengah-tengah.
"Saya paham, anak muda suka yang heboh. Tapi kalau sampai lupa takbir, malah sibuk dengan dentuman bass, rasanya jadi aneh," katanya. Ia menceritakan bagaimana anaknya yang masih remaja lebih tertarik ikut konvoi sound horeg daripada membantu takbiran di masjid.
"Saya ingat dulu bapak-bapak keliling kampung bawa bedug dan kentongan, kita ikut di belakang sambil teriak takbir. Sekarang? Anak saya malah asyik naik mobil pikap, muter-muter kota," tambahnya.
Tradisi yang BerevolusiDunia berubah.
Perubahan datang dengan cepat. Teknologi kini menggantikan bedug sebagai pusat perhatian. Perdebatan bukanlah tentang yang lebih baik, melainkan tentang bagaimana kita merayakan perubahan ini.
Sebagian menganggapnya sebagai kemajuan, sementara yang lain melihatnya sebagai kemunduran. Ada yang merindukan kehangatan tradisi takbiran di kampung, namun tak sedikit yang menikmati nuansa modern yang semakin meriah.
Sementara itu, satu sisi mengekspresikan kekhawatiran tentang takbiran yang berubah menjadi ajang adu gengsi sound system, di mana kekerasan dan kemewahan dianggap kekinian. Namun, si sisi lain, ada optimisme: anak muda tetap bersemangat menyambut Idulfitri, meski dengan gaya mereka sendiri.Toh, esensinya tetap sama: takbir harus tetap dikumandangkan. Entah dengan bedug atau sound horeg, yang penting niatnya benar. Yang penting, takbiran tetap jadi ajang syukur bukan sekadar pesta semalam suntuk. Lalu, akankah bedug benar-benar punah? Atau suatu saat, generasi muda justru kembali mencarinya, merindukan suara yang kini nyaris terlupakan? (RD)
Editor : Redaksi