Perempuan yang Menjahit Cahaya: Kisah Dini Arianti, Penjahit Baju Anabul dari Surabaya

Reporter : Robertus Riski
Di ruang kecil yang dipenuhi warna dan tumpukan kain, Dini Arianti bersama tim perajin di rumah produksinya, menenun rezeki dengan sabar.

TUJUHPAGI - Gang itu sempit, nyaris tak muat dua motor berpapasan. Tapi di ujungnya, ada rumah yang terasa lapang — bukan karena luasnya, melainkan karena kehidupan yang berdenyut di dalamnya. Dari luar, rumah itu tampak biasa. Namun begitu pintu dibuka, warna-warna menyerbu mata seperti tawa anak-anak yang tak sabar bermain. 

Benang-benang bergelantungan di rak, seperti urat nadi yang menyalurkan kehidupan. Mesin-mesin berdengung, memintal kain menjadi pakaian mungil — bukan untuk manusia, melainkan untuk anabul, hewan peliharaan yang disayang seperti keluarga. Di ruang sempit berukuran kira-kira 5x10 meter itu, tujuh mesin jahit bekerja tanpa jeda. Setiap minggu, seribu potong baju lahir dari tangan-tangan yang tak hanya terampil, tapi juga sabar.

Baca juga: Menantang Maut Demi Kapur: Perjuangan Gigih Para Penambang di Tuban

Proses produksi baju anabul di rumah jahit Dini Arianti, Surabaya.
Semua bermula dari satu permintaan yang terdengar remeh, sepuluh tahun lalu. 

“Bisa nggak bikin baju kembaran sama kucing saya?” tanya seorang pelanggan. 

Dini Arianti tertawa waktu itu. Ia penjahit baju manusia, bukan baju kucing. Tapi ada sesuatu dalam pertanyaan itu — semacam tantangan kecil yang menggoda rasa ingin tahunya. Ia mencoba. Dan dari satu jahitan iseng, lahirlah jalan hidup baru. 

“Dulu pemain baju anabul belum banyak,” kenangnya. “Jadi malah gampang. Tantangannya justru sekarang, waktu pasarnya makin ramai.” 

Dari situlah @bajukucing_grosirsurabaya tumbuh — sebuah rumah kecil di Jalan Pakis gang 2, Surabaya, yang kini menjadi tempat enam orang perempuan menenun rezeki. Mereka menjahit bukan sekadar kain, tapi juga kasih. Dari potongan-potongan sederhana, mereka mencipta jaket denim mini, gaun pesta mungil, hingga kostum kelinci yang membuat siapa pun tersenyum. Salah satu baju anabul kreasi Dini dan tim. (Foto : Robertus Riski)

“Paling banyak pesanan dari Surabaya Barat,” kata Dini. “Soalnya di sana ada mal yang boleh bawa hewan masuk. Jadi mereka pesan baju harian buat jalan-jalan.” 

Harga baju-baju itu tak mahal — mulai Rp25 ribu hingga Rp100 ribu. Tapi bagi para pemilik hewan, harga bukan ukuran. Mereka membeli rasa sayang yang dijahit rapi, membeli kebahagiaan kecil yang bisa dikenakan. 

Kini, hasil jahitan Dini melanglang jauh. Hampir seluruh pulau di Indonesia. Semua lewat pesanan daring. Yang dulu hanya permainan kecil kini menjadi penghidupan. 

Dan di balik semua itu, ada Arif — suaminya. Ia tahu, Dini bukan sekadar menjahit kain, tapi juga menenun dirinya sendiri. Arif melihat bagaimana istrinya menemukan ruangnya: tempat bertumbuh, bernapas, dan merasa berguna. Karena itu, ia tak hanya mendukung dari jauh. Ia ikut menjaga denyut usaha kecil itu.

“Saya yang handle pengiriman ke luar kota,” ujarnya. “Saya memang ingin usaha ini jadi milik istri. Biar dia punya ekonomi sendiri. Biar sibuk, tapi juga bangga dengan hasil kerjanya.” 

Pekerja rumah Jahit Dini Ardianti yang menyiapkan baju anabul untuk siap kirim.

Dini menatap deretan baju mungil yang baru selesai dijahit. Tangannya menyentuh lembut kain yang telah berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar barang: ia menyentuh waktu, kesabaran, dan cinta yang dijahit diam-diam di setiap helai benang. 

Ia tahu, setiap jahitan adalah doa kecil yang menautkan harapan pada kain.
Setiap benang menjadi pengingat — bahwa rezeki tak selalu lahir dari rencana besar, melainkan dari keberanian sederhana untuk memulai sesuatu yang tampak remeh.

Kini, mereka hanya berharap ada seulas perhatian dari pemerintah kota. Bukan semata bantuan, tapi pengakuan — bahwa dari rumah-rumah kecil seperti milik mereka, tumbuh kerja, tumbuh kemandirian, dan tumbuh kehidupan bagi warga sekitar. (RR)

Editor : Ardhia Tap

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru