Ageno dan Bahasa yang Akhirnya Menemukan Suaranya

Reporter : Ardhia Tap
Seorang terapis mendampingi anak dalam sesi fisioterapi di Malang Autism Center, membantu memperkuat motorik dan fokus melalui latihan sederhana yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan empati.

TUJUHPAGI - Malang Autism Center (MAC), memiliki sebuah ruang terapi bernuansa lembut. Di sana, seorang anak bernama Ageno belajar berbicara. Bukan sekadar mengucap kata, tapi menemukan suara yang dulu tersembunyi di balik diam panjang. Usianya sepuluh tahun, dan setiap suku kata yang keluar dari bibirnya kini terdengar seperti kemenangan kecil atas sunyi. 

Alfu, terapis yang menemaninya sejak 2022, tahu betul bagaimana perjalanan itu dimulai. 

Baca juga: Tomboan Ngawonggo, Pulang ke Masa Lalu

“Dulu dia tidak bisa bicara sama sekali. Sekarang Alhamdulillah sudah mulai lancar, sudah banyak bicara dan lebih jelas,” katanya, dengan nada yang lebih seperti doa ketimbang laporan. 

Terapi di MAC bukan sekadar rutinitas medis. Di sana, tubuh dan jiwa anak-anak diajak berdialog. Gerakan sederhana — menendang bola, berjalan di garis lurus, menyusun puzzle — menjadi cara lain untuk menyentuh dunia. 


“Latihan fisioterapi membantu mereka lebih stabil dalam gerak dan fokus,” ujar Alfu, sambil memperhatikan tangan kecil yang berusaha menggenggam keseimbangan. 

Namun, terapi tak pernah hanya tentang anak. Di balik setiap sesi, ada orang tua yang menaruh harapan — kadang terlalu besar, kadang sekadar ingin anaknya bisa menatap mata dunia. 

“Kami sesuaikan dengan tujuan orang tuanya. Ada yang ingin anaknya bisa bicara, ada yang ingin lepas dari gadget. Semua punya cerita sendiri,” tutur Alfu. 

Ia lalu menyebut nama lain: Bima. Anak yang dulu tenggelam dalam layar permainan. Game, katanya, bisa jadi jendela atau jebakan — tergantung seberapa lama mata anak itu terpaku di sana. 

“Game bisa membantu menstimulus motorik, tapi kalau screen time terlalu tinggi, fokusnya hilang,” ujarnya. 

Di antara semua proses itu, tantrum menjadi bahasa lain yang harus dimengerti. 

“Kadang mereka memukul kepala sendiri atau menggigit. Itu bukan amarah, tapi cara mereka mengekspresikan sesuatu yang belum bisa diucapkan,” kata Alfu pelan. 

Ageno, di matanya, adalah anak yang punya jam biologis sendiri. Ia tidak tahu hari atau tanggal, tapi selalu tahu kapan waktunya pulang. 

“Biasanya dijemput eyangnya sebulan sekali. Entah bagaimana, dia selalu tahu waktunya sendiri,” ucap Alfu sambil tersenyum — senyum yang menyimpan rasa kagum dan takjub sekaligus. 

Di sisi lain, Muhammad Cahyadi, CEO MAC, melihat semua ini sebagai bagian dari perjalanan panjang menuju kemandirian. 

“Anak-anak di sini umumnya bermasalah di *basic life skill*. Kami bantu mereka memperbaiki perilaku dan keterampilan dasar hidup agar bisa mandiri,” jelasnya. 

Tiga bulan sebelum anak keluar dari MAC, orang tua diminta memberi kabar. Waktu itu digunakan untuk melatih terapis yang akan mendampingi anak di rumah — semacam jembatan agar hasil terapi tidak runtuh di tengah jalan. 

“Autisme itu sensitif terhadap perubahan. Karena itu kesinambungan terapi sangat penting,” tegasnya. 

Kini, Ageno bukan lagi anak yang diam. Ia berbicara, tertawa, dan mengenali dunia dengan caranya sendiri. 

Di balik setiap kata yang ia ucapkan, ada kerja panjang dari cinta, kesabaran, dan keyakinan bahwa setiap manusia — betapapun berbeda — selalu punya cara untuk menemukan bahasanya sendiri. (AP)

Editor : Redaksi

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru