Lapak Usang Buku Bekas, Bertahan di Tengah Gempuran Zaman

Reporter : Ardhia
Keheningan Pasar Blauran: Suara Terdengar dari Debu dan Jaring Laba-Laba, Sabtu (17/5/2025). (Foto: Robertus Rizky)

Tujuhpagi.com – Hidup Segan, Matipun Enggan  barangkali penggalan kalimat tersebut menggambarkan potret wajah pasar tradisional tepatnya di Pasar Blauran, Surabaya, Sabtu (17/5/2025).  Begitulah kira-kira kesan yang tercipta saat mengunjungi Pasar Blauran, Surabaya. Di sinilah bazar buku bekas yang penuh sejarah menanti untuk dikunjungi, meski suasananya kini lebih mirip seperti adegan dari film lawas. Jaring laba-laba yang menggantung malas  seakan berkisah tentang masa lalu gemilang yang perlahan memudar, ditemani debu yang mulai menumpuk sebagai saksi bisu.

Keheningan Pasar Blauran: Suara Terdengar dari Debu dan Jaring Laba-Laba

Potret salah satu sudut pasar Blauran, Surabaya, Sabtu (17/5/2025). (Foto: Robertus Rizky)

Jendela dunia yang dulu digandrungi pembaca kini tinggal kenangan. Waktu seolah berdiam dalam deretan lapak buku bekas yang pernah berjaya. Pasar yang dulu bising oleh tawar-menawar, kini sepi, hanya tersisa tujuh dari 48 pedagang yang mengais rezeki.

"Dulu ada 48 pedagang yang berjualan, sekarang cuma sisa 7 saja yang bertahan," cerita Hakim Muslim, Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Se-Surabaya.

Melawan Arus Pasar Modern dengan Buku Bekas

Apa yang membuat pasar ini tergerus waktu? Mungkin, salah satunya adalah menurunnya minat baca. "Anak muda sekarang lebih suka sosmed. Sekolah mewajibkan punya buku, tapi tidak membaca," ungkap Hakim, yang telah menggeluti dunia perbukuan sejak 1994.

Ketika belanja online dan e-book mendominasi, pedagang buku bekas di pasar tradisional seperti melawan arus yang deras. Saiful Anwar mengisahkan masa kejayaannya, "Dulu pasar ramai, jual bisa 200 ribu sehari. Sekarang, dapat 10 ribu saja sudah seperti hadiah lotre!"

Para pedagang buku yang memilih tetap bertahan di pasar Blauran, Surabaya, Sabtu (17/5/2025). (Foto: Robertus Rizky)

Meskipun gairah pasar melemah, Khusdi yang berusia 67 tahun tetap lincah menata buku dengan jari-jarinya yang sudah keriput. Ia setia menciptakan kembali surga bagi para pemburu pengetahuan.

"Banyak teman pindah profesi, kena imbas online." katanya sambil tersenyum getir. Saat ini para pedagang berharap dukungan dari Pemerintah Kota Surabaya yang belum juga datang.

"Harapan kami bukan hanya untuk pasar buku, tapi semua pasar tradisional, agar bisa hidup lagi seperti dulu," tambah Hakim. Buku, yang sejatinya menjembatani ingatan dan wawasan, kini menjadi barang usang di etalase pedagang. Tapi siapa tahu, di balik tumpukan itu, ada harta karun yang menunggu untuk kembali memberi inspirasi. Apakah apa kesempatan kedua untuk bangkit? (RR)

Editor : Ardhia

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru