TUJUHPAGI - Ada yang sunyi di Gedung Cak Durasim malam itu. Tapi kesunyian itu bukan hampa. Ia berdenyut. Ia hidup. Dari gelap panggung, muncul suara dzikir – lirih, tapi dalam. Lalu tubuh-tubuh mulai bergerak. Pelan. Pasti. Seolah sedang menuntun jiwa yang hilang untuk pulang.
Di ruang itulah, api kecil dalam diri manusia menyala. Api seni. Api rasa. Api yang menolak padam. Parade Teater di Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jalan Genteng Kali 85, Surabaya, menjadi wadah bagi jiwa-jiwa yang menolak diam. Mereka menari, berteriak, berzikir – semua dalam satu bahasa: teater.
Komunitas Kotaseger Indonesia tampil dengan lakon “Angon Angin”. Dari diam mereka memulai. Dari gelap mereka lahirkan cahaya. Seorang aktor muncul, terjerat jala ikan. Namanya Darim. Ia bukan sekadar tokoh. Ia cermin. Ia manusia yang kehilangan dirinya di tengah riuh dunia.
Tubuh-tubuh di atas panggung berbicara lebih lantang dari kata. Setiap gerak adalah doa, setiap diam adalah tanya. Penonton tak hanya menonton – mereka diajak merenung.
“Lakon Kocak Kacik karya Arifin C. Noer kami baca ulang,” ujar sang sutradara, Ali Khumain, seusai pementasan. “Kami tidak sekadar meniru bentuknya. Kami menelusuri jiwanya. Kami olah tubuh, rasa, dan nalar agar karya ini bisa hidup dalam konteks kami hari ini.”
Ali dan timnya tidak berhenti di adaptasi. Mereka menanamkan kearifan lokal, menautkan akar budaya tempat mereka berpijak. Hasilnya: teater yang bukan hanya tontonan, tapi juga tatanan dan tuntunan.
Menurut Luhur Kayungga, Presidium Dewan Kesenian Jawa Timur sekaligus kurator Parade Teater Jatim 2025, pilihan terhadap Kotaseger bukan tanpa alasan.
“Dari enam kelompok yang lolos kurasi, hanya Kotaseger yang berani menempuh jalan berbeda,” katanya. “Mereka tidak hanya mengadaptasi bentuk, tapi juga menafsir ulang nalar dan nilai-nilai Arifin C. Noer dengan lokalitas mereka sendiri.”
Parade Teater Jawa Timur tahun ini digelar pada 24–25 Oktober 2025 dengan tema "Membaca Arifin C. Noer dalam Platform Teater Jawa Timur.” Tema yang bukan sekadar penghormatan, tapi juga ajakan: membaca kembali, menafsir ulang, dan menemukan diri di antara karya-karya besar.
Di akhir pementasan, Darim – tokoh yang terjerat jala – akhirnya melepaskan diri. Tapi bukan karena jala itu hilang. Karena ia sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
Begitulah teater. Ia bukan sekadar hiburan. Ia perjalanan jiwa. Kadang sunyi, kadang gaduh. Tapi selalu mengarah ke satu titik: pulang ke diri sendiri.
Dan malam itu, di Gedung Cak Durasim, kesunyian benar-benar bersuara.
Editor : Ardhia Tap