Langkah Kaki Umat Hindu dari Pura Segara ke Laut Kenjeran: Menyucikan Diri di Upacara Melasti

author tujuhpagi.co

share news
share news

URL berhasil dicopy

share news
Melasti Gianyar Bali./ Sumber Foto: Wikipedia, karya Gede Putu Agus Sunantara.
Melasti Gianyar Bali./ Sumber Foto: Wikipedia, karya Gede Putu Agus Sunantara.

i

TUJUHPAGI.COM - Ribuan umat Hindu dari Surabaya dan sekitarnya berkumpul di Taman Harmoni Pantai (THP) Kenjeran pada Sabtu pagi, 22 Maret, untuk melaksanakan upacara Melasti.

Prosesi tahunan ini adalah bagian dari persiapan menuju Hari Nyepi Tahun Baru Saka 1947, yang jatuh pada 29 Maret mendatang.

Dengan mengenakan pakaian putih, umat Hindu memulai perjalanan spiritual mereka dari Pura Segara Surabaya, berjalan kaki menuju laut sambil membawa sesaji, kain putih panjang, dan pratima yang akan disucikan oleh air laut.

Air laut, yang diyakini sebagai sumber kehidupan, menjadi media untuk membersihkan diri dan menyucikan jiwa.

Sesaji yang dibawa dalam upacara Melasti menggambarkan Trimurti, yaitu Wisnu, Siwa, dan Brahma, serta simbol Jumpana, singgasana Dewa Brahma.

Ritual ini adalah cara umat Hindu untuk menyucikan diri dan memohon berkah, agar bisa memulai tahun baru dengan hati yang bersih.

Ketut Gotra Astika, Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Surabaya, menjelaskan bahwa Melasti merupakan ritual untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan, serta untuk membersihkan diri dari segala hal buruk yang telah dilakukan sepanjang tahun.

"Melasti ini bukan sekadar sebuah prosesi, tetapi sebuah cara untuk memperbaiki diri, memohon agar segala yang buruk bisa dibuang, dan menyambut tahun baru dengan semangat baru," katanya.

Upacara ini juga bukan hanya soal penyucian diri, tapi juga menyeimbangkan alam. Sebelum melakukan persembahyangan, umat Hindu melarung ayam hitam dan bebek ke laut, sebuah simbol untuk menyeimbangkan alam dan membuang segala hal negatif.

Tak ketinggalan, tari Mandara Giri yang dipentaskan di tepi laut semakin menguatkan nuansa kedamaian dan keharmonisan alam dalam ritual ini.

"Harapannya kita menyeimbangkan alam, menjaga kesucian alam, dan memohon agar tahun depan menjadi lebih baik," tambah Ketut.

Ritual ini menggambarkan sebuah harapan yang sederhana, namun penuh makna: alam yang seimbang, masyarakat yang harmonis, dan dunia yang lebih baik.

Melasti adalah sebuah momen untuk merenung, menatap masa depan, dan melepaskan segala beban yang telah berlalu. Sebuah kesadaran akan pentingnya keberagaman dan saling menghormati.

"Kami berharap, di Indonesia yang semakin maju ini, semua umat bisa bekerja sama untuk membangun kesejahteraan," ujar Ketut, dengan harapan bahwa Indonesia Emas 2045 akan menjadi tempat di mana setiap orang bisa hidup berdampingan dengan damai.

Perwakilan Pemkot Surabaya, Agus Imam Sonhaji, Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya, hadir di akhir upacara. Dalam sambutannya, Agus menegaskan bahwa upacara Melasti adalah simbol dari kebersamaan yang terjalin antara umat dan alam.

"Melasti adalah upacara sakral yang menunjukkan hati yang bersih dan semangat kebersamaan. Ini adalah pengingat bahwa kehidupan harus harmonis, bukan hanya dengan Tuhan, tapi juga dengan sesama dan alam sekitar," ujarnya.

Agus juga mengingatkan betapa pentingnya keberagaman di Surabaya, dan berharap umat Hindu semakin rukun serta dapat berperan aktif dalam pembangunan kota.

"Keberagaman adalah kekuatan kita. Semoga umat Hindu semakin rukun dan berkontribusi dalam menciptakan Surabaya yang lebih baik," katanya.

Melalui upacara Melasti ini, umat Hindu tidak hanya menyucikan diri, tetapi juga mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga kedamaian, keseimbangan alam, dan keharmonisan sosial.

Sebuah ritual yang, meski bersifat spiritual, membawa pesan universal: kita semua adalah bagian dari alam ini, dan tugas kita adalah menjaganya dengan sepenuh hati. (RD)

Berita Terbaru

Setan di Tengah Kota

Setan di Tengah Kota

Sabtu, 26 Jul 2025 07:51 WIB

Sabtu, 26 Jul 2025 07:51 WIB

TUJUHPAGI - Saya masuk. Bersama tujuh orang lain. Satu pura-pura berani. Satu lagi benar-benar penakut. Sisanya? Tidak jelas. Mungkin hanya ikut-ikutan. Atau,…

Kelas Menengah Kian Menyusut, Kesejahteraan Bangsa Ikut Surut

Kelas Menengah Kian Menyusut, Kesejahteraan Bangsa Ikut Surut

Jumat, 25 Jul 2025 22:34 WIB

Jumat, 25 Jul 2025 22:34 WIB

TUJUHPAGI - Kelas menengah Indonesia sedang turun gunung. Bukan, bukan turun untuk piknik. Tapi benar-benar turun kelas. Data BPS terbaru: jumlah kelas…

Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh

Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh

Jumat, 25 Jul 2025 06:24 WIB

Jumat, 25 Jul 2025 06:24 WIB

TUJUHPAGI - Benowo, Surabaya. Di sini, listrik menyala dari sampah. Tapi, di balik gemerlap lampu-lampu itu, ada nafas yang tersengal. Saya ingat, di masa…

Rojali: Harapan Rekreasi di Tengah Lesunya Transaksi

Rojali: Harapan Rekreasi di Tengah Lesunya Transaksi

Kamis, 24 Jul 2025 21:47 WIB

Kamis, 24 Jul 2025 21:47 WIB

TUJUHPAGI - Fenomena mal yang ramai pengunjung namun tenan sepi pembeli kini menjadi pemandangan lumrah di banyak kota besar. Di dalam toko dan tenan, para…

Suara Anak Kampung dari Gang-Gang Surabaya: Saatnya Berani Berkarya, Berani Bersuara, Perjuangkan Asa

Suara Anak Kampung dari Gang-Gang Surabaya: Saatnya Berani Berkarya, Berani Bersuara, Perjuangkan Asa

Rabu, 23 Jul 2025 19:07 WIB

Rabu, 23 Jul 2025 19:07 WIB

TUJUHPAGI - Hari itu, Minggu pagi, Surabaya belum sepenuhnya bangun. Tapi di sudut-sudut kampung, di gang-gang sempit yang kadang luput dari peta pembangunan, …

Raih Mimpi Setinggi Langit, Ciptakan Asa: Anak-anak Sanggar Merah Merdeka

Raih Mimpi Setinggi Langit, Ciptakan Asa: Anak-anak Sanggar Merah Merdeka

Minggu, 20 Jul 2025 03:38 WIB

Minggu, 20 Jul 2025 03:38 WIB

Tujuhpagi.com- Saya ingat satu kalimat dari Ki Hajar Dewantara. Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun…