TUJUHPAGI - Rumah kecil di Jalan Kacapiring, Surabaya, kembali ramai. Di sana, jagongan digelar. Bukan sekedar kumpul. Ada dua pakar komunikasi hadir: Dr. Zulaika dan Dr. Harliantara. Topik yang diangkat sederhana, tapi penting: peran jurnalis di tengah derasnya arus informasi digital.
Jurnalis tak lagi sekadar penulis berita. Kini, mereka diharapkan menjadi penghubung—antara dunia yang riuh dan masyarakat yang haus penjelasan. “Wartawan ke depan harus menjadi edukator digital,” ujar Zulaika. Bukan lagi komunikasi satu arah. Dialog menjadi kunci. Jika masyarakat tak paham, mereka berhak bertanya. Penjelasan harus hadir, bukan sekadar berita yang lewat begitu saja.
Di tengah dunia yang serba cepat, informasi viral sering hanya satu paragraf. Ringkas, tapi kerap kehilangan makna. Jurnalis ditantang menulis singkat, tetap utuh, tetap akurat. Media sosial dan jurnalisme harus dibedakan. Satu berbasis pribadi, satu lagi berbasis etika dan lembaga. Kredibilitas tak boleh dikorbankan demi kecepatan.
Generasi Z tumbuh dengan layar di tangan. Mereka generasi digital. Potensi besar, tapi juga rentan. Hoaks datang silih berganti. Literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis. Ada analisis, ada etika, ada kesadaran. Hoaks tak pernah benar-benar hilang. Informasi positif harus terus diperbanyak, seperti menanam pohon di tanah gersang.
Rumah Literasi Digital berdiri sebagai pusat belajar. Di sana, masyarakat diajak memilah, memahami, dan memproduksi informasi secara bijak. Di era banjir data, kemampuan literasi digital menjadi dasar. Bukan hanya untuk jurnalis, tapi untuk semua.
Jagongan sore itu berakhir. Namun, pertanyaan tetap menggantung di udara: Apakah masyarakat sudah cukup kuat menghadapi gelombang informasi? Atau justru tenggelam dalam riuhnya kabar yang datang tanpa henti?
Di tengah kebisingan, literasi digital menjadi jeda. Tempat menata ulang makna. Di sana, kata-kata tak sekadar jembatan, tapi juga penanda: masih ada harapan, masih ada ruang untuk berpikir.
---
Editor : Ardhia Tap