Serial Anime One Piece: Salib, Pengorbanan, dan Perlawanan terhadap Tirani

Reporter : Redaksi
Ilustrasi Bartholomew Kuma (Sumber Foto: Pinterest ).
  Oleh : Darius Tri Sutrisno

TUJUHPAGI - Serial anime One Piece telah berlayar lebih dari dua dekade, namun tak henti-hentinya mengguncang batin para penggemarnya.

Ia bukan sekadar kisah bajak laut yang mencari harta karun, melainkan juga untaian kisah tentang pengorbanan, persahabatan, dan luka-luka yang tak terlihat.

Setiap tokoh di semesta One Piece hadir dengan latar belakang yang dipahat dengan cermat—tak ada yang lahir dengan asal-asalan.

Di antara lautan tokoh yang berwarna, ada satu nama yang begitu kuat auranya. Namun, kerap hanya disinggung sepintas oleh banyak penonton, yaitu Bartholomew Kuma. Ia biasa dipanggil juga Kumashi, panggilan masa kecilnya.

Lahir dari pasangan ras manusia dan ras yang disebut “monster”.  Ia mewarisi tubuh besar ayahnya dan kelembutan hati ibunya. Hidup mereka sederhana: bertani untuk bertahan hidup.

(Bartholomew Kuma adalah salah satu karakter penting dalam serial manga dan anime *One Piece*. Ia dikenal sebagai anggota Shichibukai, kelompok bajak laut kuat yang bekerja sama dengan Pemerintah Dunia. Namun, di balik penampilannya yang dingin dan kuat, Kuma menyimpan kisah pengorbanan dan perjuangan yang dalam, yang bisa kita lihat sebagai simbol spiritual dan sosial.)

Kembali ke cerita, namun kebahagiaan mereka direnggut oleh “Marine” dari Pemerintah Dunia. Ibunya mati, ayahnya ditangkap bersama Kuma untuk dijadikan budak.

Meski belenggu rantai membatasi tubuh mereka, ayah Kuma selalu menanamkan satu hal: tetaplah bahagia, sebab akan ada seseorang yang datang membebaskanmu.

Keyakinan itu pupus ketika sang ayah juga mati akibat kekejaman perbudakan. Tinggallah Kuma bersama sahabatnya, Ginny, dalam kurungan yang tak mengenal waktu.

Hingga suatu hari, dalam kekacauan perang, Kuma memakan Buah Iblis yang memberinya kekuatan luar biasa—mampu memindahkan benda dan menyembuhkan luka. Ia membebaskan sebagian budak, lalu memilih jalan hidup sebagai pastor.

Di Kerajaan Sorbet—sebuah negeri boneka di bawah kendali Pemerintah Dunia—Kuma tinggal di gereja tua, melayani umat. Namanya kini lengkap: Bartholomew Kuma. Nama yang diambil dari Santo Bartolomeus, murid Yesus yang mati demi Injil.

Setiap Minggu, ia mengadakan ibadat penyembuhan. Dengan kekuatannya, ia mengeluarkan rasa sakit dari tubuh orang-orang, mengubahnya menjadi gelembung besar.

Bahayanya? Rasa sakit itu harus ia serap ke tubuhnya sendiri, diam-diam, agar tak kembali kepada mereka yang telah disembuhkannya.

Setiap Minggu, Kuma sekarat karena menanggung penderitaan yang bukan miliknya. Ia menderita agar orang lain bisa hidup tanpa rasa sakit—sebuah cermin dari pengorbanan Kristus yang menanggung dosa umat manusia di kayu salib.

Namun dunia di luar dirinya tak berubah. Penindasan terus berlangsung. Penangkapan dan penderitaan yang menimpa umatnya memaksa Kuma menanggalkan jubah pastor dan kembali ke medan perlawanan bawah tanah.

Kisah Kuma mengajarkan bahwa pelayanan sejati menuntut keberanian untuk menanggung luka yang bahkan bukan milik kita.

Sebagai orang beriman, sanggupkah kita melakukannya setiap Minggu? Mungkin belum. Tetapi pelajaran dapat datang dari mana saja, termasuk semesta fiksi.

Sayangnya, di dunia nyata, simbol-simbol dari fiksi pun terkadang dianggap ancaman.

Di Indonesia, terjadi pelarangan mengibarkan bendera Jolly Roger—bendera bajak laut yang menjadi ikon kapal One Piece. Alasannya, dikhawatirkan membudayakan simbol pembajakan atau dikaitkan dengan makna negatif di luar konteks fiksi.

Padahal, bagi para penggemar, bendera itu bukan simbol kejahatan, melainkan lambang kebebasan, persaudaraan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Nilai-nilai yang justru selaras dengan perjuangan karakter seperti Kuma.

Paradoks ini menarik: di semesta One Piece, bendera itu adalah tanda komitmen untuk saling menjaga, meski melawan arus dunia. Sedangkan di dunia nyata, ia bisa dianggap berbahaya.

Di sinilah fiksi dan kenyataan bertemu—menunjukkan bahwa makna simbol selalu ditentukan oleh siapa yang memandangnya.

Bartholomew Kuma akhirnya mati dengan cara tragis, seperti Santo Bartolomeus yang ia teladani. Yang satu mati dalam penginjilan, yang lain mati sebagai budak. Namun keduanya meninggalkan jejak yang tak lekang, bahwa menanggung rasa sakit orang lain adalah puncak dari keberanian dan kemanusiaan.

Darius Tri Sutrisno,Relawan kebencanaan dan aktif menulis di blog pribadi dariustsutrisno.wordpress.com

 

Editor : Ardhia Tap

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru