TUJUH PAGI - Logo kota yang hari ini kita anggap sakral—ikan hiu dan buaya saling serang—ternyata bukan warisan leluhur. Bukan hasil konsensus budaya. Bukan pula kisah nyata. Menurut Heri, itu justru buatan seorang antropolog Belanda.
Di meja kayu panjang, Heri Lentho seorang Budayawan asal Kota Surabaya, mengaduk kopinya perlahan. Tangannya sedikit gemetar. Bukan karena gugup, tapi karena ditodong wawancara.
Baca juga: Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh
Pagi itu, Langit Surabaya utara terasa teduh. mendung menggantung tenang. tak ada bising di teras kantin kecil di sudut Taman Budaya Jawa Timur. Namun ada suara yang lantang tegas saat menjelaskan kisah ini. Bahkan seperti ingin mencabik mitos yang terlalu lama jadi dongeng resmi kota Surabaya.
“Sura ing Baya itu bukan soal ikan dan buaya,” katanya membuka percakapan.“Itu soal keberanian. Keberanian melawan bahaya.”
Saya diam. Lama. Pernyataan itu mengganggu. Mengacak-acak imajinasi masa kecil saya yang dibesarkan oleh legenda hiu dan buaya bertarung memperebutkan wilayah. Dongeng yang diajarkan sejak TK. Dilukis di tembok-tembok sekolah. Dipatungkan di Taman Surya.
Sura Ing Baya
Menurut Heri, frasa Sura Ing Baya sudah ada sejak 1920. Dicetak di atas kop surat resmi pemerintah kota. Diberi cap. Berbahasa Belanda. Tapi maknanya diselewengkan. Ditarik ke arah dongeng. Diubah jadi fabel.Almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. atau populer dipanggil Cak Nur, yang seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia, pernah menyebut bahwa dua binatang itu adalah simbol pertemuan dua budaya besar di Jawa Timur: budaya pesisiran yang egaliter, dan budaya pedalaman yang feodal. Tapi bukan dia penciptanya.
Nama sebenarnya adalah L.C.R. Breemen. Seorang bankir. Bos Bank Nutsspaark di Surabaya zaman kolonial. Ia mengusulkan agar Surabaya punya lambang dua hewan: hiu dan buaya. Alasannya sederhana. Katanya, mitosnya kuat.
Namun desainnya sendiri dibuat oleh Genealogisch Heraldisch Leeuw, perhimpunan ahli lambang di Belanda.
Lalu kita percaya. Kita pakai. Kita wariskan. Dari kop surat pemerintah kota, hingga stempel, patung, logo sekolah, dan bahkan jadi identitas diri.
Padahal, kalau mundur lebih jauh, kita akan sampai ke tahun 1848. Sebuah masa ketika kota ini belum punya aspal, masih dipenuhi derap sepatu kulit dan dering trem. Tahun itu berdiri sebuah kelompok musik: St. Caecilia.
Mereka punya bendera kain bludru. Tertempel bordir dua hewan: seekor hiu dan seekor buaya. Tapi bukan sedang bertarung. Mereka tidur. Damai. Tenang. Tidak saling menerkam.
Menjadi Logo di mana-mana
Logo itu kemudian dipajang di panggung tiap pementasan. Dan koran dagang tertua di kota ini, Soerabaiasche Courant, ikut-ikutan. Tahun yang sama. Mereka pasang lambang dua hewan itu sebagai logo. Bukan karena heroik. Tapi estetika.Masuk tahun 1864, seorang sejarawan Belanda bernama J. Hageman J. Cz menulis buku Soerabaia. Ia mencatat dengan tegas: tak ada satu pun bukti bahwa kata “sura” dalam bahasa Jawa berarti hiu. Sura artinya: berani.
Baca juga: Surabaya Semakin Mantap Jadi Kota Teknologi, iSTTS Sukses Gelar Workshop Deep Learning Bareng NVIDIA
Ia bahkan mencontohkan: Surakarta, Suramenggala, Surapati, Suradilaga. Semua tokoh dan kota itu punya arti sama: keberanian. Sama sekali tak berhubungan dengan ikan hiu.
Bahkan dalam idiom Jawa kuno: Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, jelas maknanya—keberanian dan kejayaan akan luluh oleh kelembutan. Lagi-lagi, tidak ada hiu di situ.
Lalu datanglah 1920. Pemerintah kota kolonial mengesahkan logo resmi Surabaya. Untuk pertama kalinya: dua binatang, satu motto. Tapi jangan salah tafsir. Logo dan motto itu tidak berkaitan. Motto itu: Soera Ing Baia—berani melawan bahaya.
Uniknya, Surabaya menjadi satu-satunya kota di Hindia Belanda yang logonya disertai motto berbahasa Jawa.
Para pecinta budaya berkolaborasi, menyelami dan menelusuri sejarah panjang Kota Surabaya bersama-sama. (Foto: Julian)
Lahirlah dongeng asal mula nama kota Surabaya
Namun kebingungan itu kembali muncul pasca kemerdekaan. Saat pemerintah kota mengganti lambang resmi kolonial dengan versi baru. Sayangnya, sang desainer lupa mencantumkan motto.Akibatnya: warga Indonesia bebas mengartikan sendiri. Maka lahirlah kembali dongeng-dongeng. Tentang ikan dan buaya yang bertarung. Tentang kota yang dibangun oleh dua binatang buas. Tanpa dasar sejarah. Tanpa naskah kuna. Sama lemahnya dengan cerita Kancil mencuri mentimun.
Baca juga: Jeratan Plastik: Ancaman Nyata untuk Kesehatan Masyarakat
Yang lebih menggelikan: versi salah kaprah itu malah dimuat dalam lembaran negara. Ditetapkan oleh DPRS Kota Besar Surabaya lewat Putusan No. 34/DPRDS, diperkuat Keputusan Presiden RI No. 193 tahun 1956. Legal. Resmi. Tapi salah.
Dan dari sinilah mitos jadi abadi. Logo dua hewan itu menjadi viral—bahkan sebelum kata viral ditemukan. Hampir semua bangunan era akhir abad 19 hingga awal abad 20 memakainya: menara pandang Kalimas, rumah-rumah kolonial, kantor kedutaan Prancis di Dinoyo, kaca patri gedung-gedung tua di Jembatan Merah.
Saya pulang dari rumah Heri dengan pikiran penuh debu. Kota ini ternyata lebih gagah dari yang saya kira. Ia bukan kota buaya. Bukan pula kota hiu. Tapi kota manusia-manusia biasa yang punya keberanian luar biasa. Yang melawan bahaya. Yang menolak tunduk.
“Jadi jangan lagi bilang Surabaya itu dari suro dan boyo,” kata Heri sambil menghabiskan rokoknya yang tinggal seujung jari.“Kita ini bukan keturunan hewan. Tapi keturunan orang-orang berani.”
Dan begitulah, sejarah selalu punya dua sisi: yang resmi dan yang nyaris dilupakan. Untung masih ada orang seperti Heri Lentho. Yang mau menambal ingatan kota. Dengan secangkir kopi dan satu kalimat sederhana: Sura ing Baya. Berani melawan bahaya. (RD)
Editor : Ardhia