Di Balik Kemewahan Mayjen Sungkono: Ketika Pengemis dan Pemulung Menjadi Pemandangan Sore

author tujuhpagi.co

share news
share news

URL berhasil dicopy

share news
Gambar oleh AI
Gambar oleh AI

i

TUJUHPAGI.COM - Surabaya, kota megapolitan dengan gedung-gedung tinggi dan jalanan lebar. Jalan Mayjen Sungkono ikon kemewahan di barat kota menyajikan pemandangan kontras setiap sore di bulan Ramadan.

Di antara deretan mobil mewah yang berhenti di lampu merah, berdiri sosok-sosok dengan pakaian lusuh. Beberapa menengadahkan tangan, berharap ada jendela yang terbuka dan selembar rupiah berpindah tangan. Ada yang membawa karung, menyisir tumpukan sampah dari restoran cepat saji atau kafe ternama, mencari sisa makanan yang mungkin masih layak dikunyah.

Mereka bukan sekadar pengemis atau pemulung. Mereka seperti tamu tak diundang di kawasan elite ini, mengandalkan belas kasih para pengendara yang sebagian besar mungkin baru saja berbuka puasa di restoran mahal.

Iba di Tengah Kemewahan

Jumadi, seorang warga yang setiap sore melewati jalan ini, mengaku hatinya sering terenyuh. "Saya lihat mereka bawa anak kecil, duduk di trotoar. Kadang ada yang tidur di emperan toko. Mau bagaimana lagi, mereka hidup dari belas kasih," katanya Kamis, 27 Maret 2025. Ia sering membuka kaca mobilnya, memberikan uang atau sekadar makanan ringan.

"Bulan puasa ini mereka makin banyak. Mungkin berharap ada yang kasih takjil atau zakat. Tapi ini bukan soal Ramadan saja. Tiap hari juga banyak," lanjutnya.

Jengkel dan Risih

Namun tidak semua merasa iba. Putri, seorang pekerja kantoran yang sering pulang lewat jalan ini, justru merasa jengkel.

"Kadang mereka berdiri di tengah jalan, menghambat mobil yang mau jalan pas lampu hijau. Itu berbahaya! Mereka kayak nekat gitu, maksa pengendara kasih uang," ujarnya.

Ia juga menyayangkan ada oknum yang terlihat sehat dan kuat tapi memilih mengemis. "Kalau pemulung sih masih mending ya, mereka kerja. Tapi kalau yang cuma ngemis, terus bawa anak kecil buat dikasihani, rasanya kok nggak adil," katanya.

Antara Simpati dan Realita

Lain lagi dengan Pak Surya, seorang pedagang di sekitar kawasan itu. Ia melihat fenomena ini dari sisi lain. "Saya nggak bisa menyalahkan mereka. Hidup di kota mahal seperti Surabaya ini susah. Tapi kalau semakin banyak, pemerintah harus turun tangan. Jangan dibiarkan seperti ini terus," katanya.

Ia mengakui banyak warga yang akhirnya memilih membantu. "Ada yang kasih makanan, ada yang bagi uang. Tapi kalau makin banyak, ini bisa jadi masalah sosial," tambahnya.

Dilema Kota Besar

Fenomena pengemis dan pemulung di Jalan Mayjen Sungkono ini seolah jadi wajah ketimpangan kota. Di satu sisi, ada mereka yang hidup berkecukupan, berkendara mobil mahal. Di sisi lain, ada mereka yang menggantungkan nasib pada belas kasih orang lain, dan di bulan Ramadan, pemandangan ini semakin nyata.

Bukan hanya karena meningkatnya jumlah mereka, tapi juga karena adanya tradisi berbagi. Sebuah ironi yang terus berulang ketika kota tumbuh megah, tapi ketimpangan tak pernah benar-benar hilang. (RD)

Berita Terbaru

Setan di Tengah Kota

Setan di Tengah Kota

Sabtu, 26 Jul 2025 07:51 WIB

Sabtu, 26 Jul 2025 07:51 WIB

TUJUHPAGI - Saya masuk. Bersama tujuh orang lain. Satu pura-pura berani. Satu lagi benar-benar penakut. Sisanya? Tidak jelas. Mungkin hanya ikut-ikutan. Atau,…

Kelas Menengah Kian Menyusut, Kesejahteraan Bangsa Ikut Surut

Kelas Menengah Kian Menyusut, Kesejahteraan Bangsa Ikut Surut

Jumat, 25 Jul 2025 22:34 WIB

Jumat, 25 Jul 2025 22:34 WIB

TUJUHPAGI - Kelas menengah Indonesia sedang turun gunung. Bukan, bukan turun untuk piknik. Tapi benar-benar turun kelas. Data BPS terbaru: jumlah kelas…

Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh

Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh

Jumat, 25 Jul 2025 06:24 WIB

Jumat, 25 Jul 2025 06:24 WIB

TUJUHPAGI - Benowo, Surabaya. Di sini, listrik menyala dari sampah. Tapi, di balik gemerlap lampu-lampu itu, ada nafas yang tersengal. Saya ingat, di masa…

Rojali: Harapan Rekreasi di Tengah Lesunya Transaksi

Rojali: Harapan Rekreasi di Tengah Lesunya Transaksi

Kamis, 24 Jul 2025 21:47 WIB

Kamis, 24 Jul 2025 21:47 WIB

TUJUHPAGI - Fenomena mal yang ramai pengunjung namun tenan sepi pembeli kini menjadi pemandangan lumrah di banyak kota besar. Di dalam toko dan tenan, para…

Suara Anak Kampung dari Gang-Gang Surabaya: Saatnya Berani Berkarya, Berani Bersuara, Perjuangkan Asa

Suara Anak Kampung dari Gang-Gang Surabaya: Saatnya Berani Berkarya, Berani Bersuara, Perjuangkan Asa

Rabu, 23 Jul 2025 19:07 WIB

Rabu, 23 Jul 2025 19:07 WIB

TUJUHPAGI - Hari itu, Minggu pagi, Surabaya belum sepenuhnya bangun. Tapi di sudut-sudut kampung, di gang-gang sempit yang kadang luput dari peta pembangunan, …

Raih Mimpi Setinggi Langit, Ciptakan Asa: Anak-anak Sanggar Merah Merdeka

Raih Mimpi Setinggi Langit, Ciptakan Asa: Anak-anak Sanggar Merah Merdeka

Minggu, 20 Jul 2025 03:38 WIB

Minggu, 20 Jul 2025 03:38 WIB

Tujuhpagi.com- Saya ingat satu kalimat dari Ki Hajar Dewantara. Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun…