Tujuhpagi.com - Surabaya, kota yang kerap dipuja dalam nyala lampu dan derap pembangunan, menyimpan sisi lain yang jarang diabadikan kamera wisata.
Di sudut-sudutnya, di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, kisah-kisah kelam bersembunyi, menunggu ditemukan.
Baca juga: Benowo Mengeluh, Udara Tak Lagi Utuh
Malam itu, saya melangkah pelan di trotoar kawasan Undaan, Surabaya Utara, menggenggam erat kamera Nikon D3S dengan lensa tetap 35 milimeter—lensa yang tak hanya menangkap gambar, tapi juga luka dan harapan yang mengendap di udara kota.
Di sanalah saya bertemu Mawar—bukan nama sebenarnya—perempuan 22 tahun yang berdiri di bawah remang lampu, mengenakan jaket denim lusuh dan ransel kecil di punggungnya.
Sekilas, Mawar tampak seperti mahasiswa yang pulang terlalu larut. Tapi hidupnya jauh dari bayang-bayang ruang kelas dan buku catatan.
Ia adalah pekerja seks komersial, menerima panggilan di hotel-hotel kelas melati Undaan, menjual waktu dan tubuhnya demi selembar rupiah.
Potret Surabaya dari sudut tak biasa, diabadikan lewat lensa 35 milimeter yang menangkap kisah di salah satu sudut kota. (Foto: Julian)
Saya datang tanpa banyak peralatan. Hanya kamera tua dan niat untuk memotret sisi lain Surabaya—bukan gedung pencakar langit atau taman kota, melainkan bayang-bayang yang ditinggalkan pembangunan. Saat saya meminta izin memotret, Mawar tersenyum samar.
“Kalau tidak pakai wajah ya nggak apa-apa, Mas. Asal jangan bawa nama asli," katanya pelan. Kami sepakat, ia akan menjadi Mawar di cerita ini: Mawar yang tumbuh dalam kerumitan hidup yang tak pernah ia pilih.
Mawar, bukan nama sebenarnya
Mawar lahir di Malang, anak kedua dari dua bersaudara. Sejak usia lima tahun, ia dibawa tantenya ke Surabaya. Ia dititipkan orang tuanya yang miskin untuk di rawat tantenya, berharap titipan itu akan membuka jalan menuju hidup lebih baik. Namun, di Benowo, Surabaya Barat, kenyataan bicara lain.Ketika remaja lain sibuk mengejar pelajaran dan cinta pertama; Mawar sibuk mengurus anak balita, anak yang ayahnya pun tak ia kenal pasti.
“Waktu itu saya masih 17 tahun. Cuma ikut teman. Katanya bisa kerja, bantu rumah. Eh, malah diajak begituan,” ujarnya lirih, suaranya tenggelam di dengung pendingin ruangan hotel.
Pertemuan Paling Menyakitkan
Namun, kisah paling getir keluar dari bibirnya saat ia bercerita tentang Indra—seorang pelanggan tetap yang tanpa disadari adalah kakak kandungnya sendiri.“Tahun lalu, saya ketemu cowok yang jadi pelanggan tetap. Dia baik, nggak kasar, sering ngobrol. Setelah lebih dari 20 kali, dia cerita kalau dulu pernah punya adik yang hilang kontak sejak kecil.” Saya terus mendengarkan. Ceritanya terus mengalir seakan mengurai benang merah takdir yang menjerat keduanya .
Baca juga: Surabaya Semakin Mantap Jadi Kota Teknologi, iSTTS Sukses Gelar Workshop Deep Learning Bareng NVIDIA
Potret Surabaya dari sudut tak biasa, diabadikan lewat lensa 35 milimeter yang menangkap kisah di salah satu sudut kota. (Foto: Julian)
“Waktu dia cerita nama orangtuanya, saya kayak kesetrum. Lho, itu nama bapak ibu saya juga. Trus dia buka dompet, kasih liat foto ibu. Saya langsung nangis, ternyata dia kakak saya sendiri.”
Di kamar hotel, mereka menangis dan berpelukan—pelukan paling menyakitkan sekaligus paling dibutuhkan Mawar seumur hidup. Setelah itu, Indra menghilang.
Potret Hidup dengan 200 Ribu
Mawar mengaku menerima tarif Rp200 ribu per jam. Dalam semalam, ia melayani tiga hingga enam tamu—kadang lebih. Uang itu ia gunakan untuk menyewa kamar kos di Benowo, memenuhi kebutuhan anaknya, dan sedikit disisihkan untuk tantenya.“Kalau lagi sepi ya makan cuma nasi sama garam, Mas,” ucapnya, tersenyum pahit. “Tapi saya nggak bisa ngeluh. Hidup nggak ngasih saya pilihan.”
Di kamar hotel yang pengap, saya mencoba mengambil satu potret Mawar dari sudut bawah tempat tidur—hanya kakinya yang tertangkap. Klik.
Suara shutter kamera mengunci waktu dan kesedihan yang menggantung di udara.
Surabaya dalam 35 Milimeter
Potret seperti Mawar tak akan Anda temukan di iklan pariwisata Kota Pahlawan. Ia tak hadir dalam kampanye kota cerdas atau slogan “Bangga Surabaya”.Baca juga: Jeratan Plastik: Ancaman Nyata untuk Kesehatan Masyarakat
Namun Mawar nyata, hidup di tengah kita—di lorong-lorong sempit, kamar pengap, dan harapan yang nyaris padam.
Surabaya bukan hanya Tunjungan Plaza, patung Suro dan Boyo, atau taman-taman bersih di pusat kota.
Kota ini juga tentang Mawar, tentang anak-anak muda yang tumbuh tanpa pilihan, tentang mereka yang bertahan hidup di tepian gemerlap.
Potret Surabaya dari sudut tak biasa, diabadikan lewat lensa 35 milimeter yang menangkap kisah di salah satu sudut kota. (Foto: Julian)
Dengan lensa 35 milimeter, saya tahu tak semua kisah bisa tertangkap. Tapi cukup untuk menyampaikan pada Anda: di balik gemerlap kota, ada Mawar yang setiap malam menyeka air mata sebelum tersenyum pada pelanggan pertamanya.
Barangkali, inilah potret paling jujur tentang Surabaya pada sebuah malam pada bulan Juli 2024—potret yang mengingatkan kita bahwa di balik kemajuan kota, masih ada luka yang belum sempat disembuhkan. (RD)
Editor : Ardhia