Seni Menikmati Karya Seni di ARTSUBS 2025

Reporter : Robertus Riski
Menikmati setiap detail karya di Artsub 2025—di tengah sorot lampu dan riuh percakapan, seni berbicara dengan caranya sendiri di Balai Pemuda, Surabaya. (Sumber Foto: Robertus Riski)

TUJUHPAGI - Sore itu, Surabaya belum sepenuhnya kehilangan cahaya. Matahari masih enggan tenggelam. Balai Pemuda berubah. Bukan lagi gedung tua di tengah kota, tapi laboratorium seni. ARTSUBS  edisi kedua. Sabtu, 2 Agustus 2025.

Saya datang. Tidak sendiri. Banyak yang datang. Seniman, pejabat, penikmat seni, dan mereka yang sekadar ingin tahu: “Ada apa sih di dalam?” Tapi, saya ingin benar-benar menikmati. Saya pelan-pelan masuk. Saya diam. Saya amati. Setiap sudut. Setiap warna. Setiap bentuk. Tekstur. Saya biarkan karya-karya itu bicara. Kadang pelan. Kadang keras. Kadang hanya berbisik.

Baca juga: Bakau Kaca, Bayang Bersuara di ARTSUBS 2025

Giring Ganesha. Ya, Giring yang itu. Mantan vokalis Nidji, kini Wakil Menteri Kebudayaan. Ia membuka acara. Dengan gaya khasnya. Penuh semangat. “Saya dua jam keliling, dan jujur, karya-karya di sini luar biasa. Tahun depan harus lebih ramai lagi,” katanya. Disambut tepuk tangan. Saya percaya, dia memang keliling. Tidak sekadar basa-basi. Karena, di ARTSUBS 2025, emosi itu campur aduk. Kagum. Bahagia. Bingung. Tidak perlu ada jawaban. Tidak perlu ada penjelasan.

Rambat, Direktur Utama ARTSUBS 2025. Tangan dinginnya menyulap Balai Pemuda jadi ruang eksperimen. Setiap pengunjung diajak membaca. Judul. Nama seniman. Deskripsi. Kadang, informasi itu membuka makna tersembunyi. Kadang, justru menambah tanda tanya.

Lampu-lampu menyorot instalasi tiga dimensi. Ada karya kontemporer. Ada yang realis. Ada yang non-realis. Ada juga pop art. Semua bercampur. Pengunjung mendekat. Lalu menjauh. Melihat dari sudut berbeda. Setiap langkah, kejutan visual baru. Setiap sudut, kesan yang berbeda.

Baca juga: Artsub 2025: Ketika Surabaya Belajar Jadi Etalase Seni

Tapi, ada satu tamu yang bikin suasana tambah adem. Monsinyur Agustinus Tri Budi Utomo. Uskup Surabaya. Orang memanggilnya Monsinyur Didik. Ia datang sendiri. Tidak ramai-ramai. Hanya ditemani rasa ingin tahu. Masuk, lalu larut. Tidak banyak bicara. Ia biarkan seni bicara sendiri. “Acara ini menarik ketika kita dipertemukan dengan imajinasi orang lain yang berada di luar diri kita,” katanya. Saya lihat, beliau betul-betul menikmati. Tidak menilai. Tidak menghakimi.

Suasana hangat. Ramai. Ada yang bertemu kawan lama. Ada yang ketemu rekan kerja. Ada yang baru kenal. Semua larut dalam kegembiraan. Pindah lokasi dari Pos Bloc ke Balai Pemuda? Tidak masalah. Esensi tetap sama: menikmati seni, bersama-sama. “Acara seperti ini pasti akan memicu dan melahirkan bakat-bakat hebat di Jawa Timur. Kita tahu, banyak seniman kita yang berjaya di dunia,” kata Giring lagi.

Artsub bukan sekadar pameran. Ia pemantik. Ia ruang tumbuh. Tantangannya jelas: bagaimana negara hadir, memberi ruang kebebasan berekspresi. Agar karya seni tidak hanya jadi pajangan. Tapi simbol kebebasan. Simbol ekspresi.

Menikmati seni di ARTSUBS 2025 —tidak ada aturan. Tidak ada pakem. Hanya perlu hati terbuka. Dan keberanian membiarkan karya membawa kita ke dunia yang berbeda. (RR)

Editor : Ardhia Tap

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru