Rojali: Harapan Rekreasi di Tengah Lesunya Transaksi

Reporter : Redaksi
Salah satu tenant di mal tampak lengang tanpa pengunjung, mencerminkan lesunya transaksi. (Sumber Foto: Atap)

TUJUHPAGI - Fenomena mal yang ramai pengunjung namun tenan sepi pembeli kini menjadi pemandangan lumrah di banyak kota besar. Di dalam toko dan tenan, para penjaga berdiri tegak, berharap ada pengunjung yang masuk, melihat-lihat, lalu membeli. Namun, sebagian besar hanya lewat. Ada yang masuk, memegang barang, lalu pergi dengan senyum kecut dan langkah cepat.

Merekalah yang kini dijuluki "Rojali"—rombongan jarang beli. Mereka bukan pengamat ekonomi, bukan pula kaum anti-kapitalis. Mereka hanyalah cerminan satu kenyataan: kebutuhan rekreasi masyarakat tak lagi sejalan dengan daya beli.

Mereka mencari tempat yang luas agar anak-anak bisa berlari, sejuk karena rumah kontrakan tak mampu melawan panas, bersih karena jalanan berdebu tak ramah untuk stroller, dekat agar ongkos transportasi tak membebani dompet, aman dengan penjagaan yang memadai, bahkan bisa jadi tempat berjalan kaki dengan toilet yang layak. Dan tentu saja: gratis.

Mal, dengan segala kemewahannya, tanpa disadari telah berubah fungsi. Ia tak lagi sekadar tempat belanja. Ia kini menjadi taman kota versi indoor—ruang publik tanpa pungutan. Tempat rekreasi keluarga kelas menengah yang kehilangan pegangan ekonomi.

Rojali bukan mitos. Ia adalah cerminan realitas.

Ekonomi boleh tumbuh, tapi daya beli stagnan. Harga kebutuhan pokok naik, sementara gaji naiknya malu-malu. Belanja bukan lagi prioritas. Menunda kebutuhan menjadi keterampilan baru. Maka, tenan demi tenan menggulung etalase, digantikan coffee shop diskon atau playground murah.

Banyak pemilik merek kini sadar, pengunjung mal bukan lagi calon pembeli, melainkan penikmat dunia nyata. Mereka masuk bukan untuk transaksi, tapi mencari udara segar, Wi-Fi gratis, dan konten Instagram.

Fenomena ini mestinya membuat kita merenung: benarkah kita baik-baik saja secara ekonomi, atau justru tersesat dalam ilusi pertumbuhan?

Jika mal yang ramai ternyata tak menjamin omzet para tenan, maka yang sedang ramai bukanlah konsumsi, melainkan kerinduan akan hidup yang sedikit lebih layak.

Rojali tak bisa disalahkan. Mereka hanya bertahan di tengah himpitan. Mereka datang bukan membawa uang, tapi membawa harapan: bahwa rekreasi masih mungkin, meski tanpa belanja.

Ketika kita melihat mal penuh sesak, jangan langsung senang. Bisa jadi itu bukan tanda ekonomi menggeliat, melainkan sinyal bahwa rakyat sedang mengeluh diam-diam.

Menanggapi fenomena ini, pengamat ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Dr. Wassiaturrahma—akrab disapa Rahma Gafmi—mengatakan, fungsi pusat perbelanjaan kini bukan lagi sekadar tempat belanja. Harus ada fungsi lain: pengalaman, perjalanan pelanggan, dan customer experience.

Pengamat Ekonomi Unair, Prof. Dr. Rahma Gafmi. (Sumber gambar : Tangkapan layar dari ponsel Rahma Gafmi)

"Fenomena lebih banyak masyarakat mencari hiburan gratis di mal juga bisa dilihat dari pergeseran fungsi mal bagi masyarakat," ujarnya.

Rahma menambahkan, dalam lima tahun terakhir, transaksi e-commerce di Indonesia memang tumbuh sangat signifikan. "Pertumbuhan belanja online bisa jadi membuat alasan masyarakat ke mal bukan lagi untuk berbelanja, melainkan hanya cuci mata," katanya.

Ia mengutip data Bank Indonesia, nilai transaksi e-commerce naik dari Rp205,4 triliun pada 2019 menjadi Rp487,01 triliun pada 2024. "Signifikan sekali. Namun demikian, tidak hanya e-commerce yang menyebabkan orang beralih ke online, tapi juga sejumlah indikator perekonomian kita menjelang akhir tahun 2024 dan transisi pemerintahan Jokowi ke Prabowo menunjukkan kondisi yang tidak baik-baik saja," terangnya.

Mal kini ramai, tapi tenan sepi. Rojali hadir bukan membawa uang, melainkan membawa harapan—bahwa rekreasi masih mungkin, meski tanpa belanja. (AP)

Editor : Ardhia

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru