Raih Mimpi Setinggi Langit, Ciptakan Asa: Anak-anak Sanggar Merah Merdeka

Reporter : Ardhia

Tujuhpagi.com- Saya ingat satu kalimat dari Ki Hajar Dewantara. “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Kalimat itu sederhana. Tapi dalam. Saya kira, tidak banyak yang benar-benar memahaminya.

Di Surabaya, di sebuah gang di Jalan Tales, Wonokromo, ada sekelompok anak-anak. Mereka bukan anak-anak dari keluarga berada. Sebagian besar orangtuanya buruh. Ada yang pedagang kecil. Ada yang pengangguran. Tapi mereka punya mimpi. Dan mereka punya tempat untuk bermimpi.

Namanya Sanggar Merah Merdeka. Sanggar ini tidak besar. Tapi cukup untuk menampung tawa dan cita-cita anak-anak kampung. Setiap sore, mereka berkumpul. Belajar menari. Latihan keras. Dua bulan sudah mereka berlatih. Ada 25 anak. Usia mereka beragam. Ada yang masih SD. Ada yang sudah SMP.

Sumber Foto : Robertus Riski

Saya sempat berbincang dengan Mahrawi. Ia koordinator sanggar itu. “Kami ingin anak-anak kampung berani tampil. Berani berkarya. Berani bersuara,” katanya. Ia tidak banyak bicara. Tapi matanya berbinar. Ia yakin, anak-anak ini bisa.

Tanggal 27 Juli nanti, mereka akan tampil di panggung. Di kampung sendiri. Mereka akan menari Sajojo dari Papua. Juga Saman dari Aceh. Latihan mereka tidak selalu mulus. Maria Ulfa, pendamping remaja di sanggar itu, bercerita, “Awal-awal, anak-anak belum kompak. Gerakannya sering salah. Tapi sekarang sudah jauh lebih baik.” Ia tersenyum.

Saya melihat sendiri, anak-anak itu menari. Mereka tidak malu. Mereka tertawa. Ada yang salah gerak, tapi tidak ada yang marah. Mereka saling membetulkan. Saling menyemangati. Aurel, salah satu anak, bilang, “Saya suka nari. Besok mau pentas Sajojo.” Wajahnya cerah.

Saya jadi berpikir. Anak-anak ini tidak pernah meminta lebih. Mereka hanya ingin ruang. Ruang untuk tumbuh. Ruang untuk bermain. Ruang untuk bermimpi. Tapi ruang itu seringkali tidak ada. Terutama untuk anak-anak kampung. Anak-anak yang orangtuanya sibuk bekerja. Sibuk bertahan hidup.

Saya bertanya pada Mahrawi, apa harapannya. Ia menjawab singkat, “Semoga pemerintah kota, RT, RW, lurah, camat, mau memperhatikan anak-anak kampung. Beri mereka akses pendidikan. Ruang bermain. Sarana olahraga. Biar mereka tidak hanya jadi penonton.”

Saya tahu, tidak mudah. Tapi saya percaya, jika ada kemauan, selalu ada jalan. Anak-anak ini punya potensi. Mereka hanya butuh sedikit perhatian. Sedikit kesempatan.

Hari Anak Nasional sebentar lagi. Saya kira, ini bukan sekadar perayaan. Ini pengingat. Bahwa anak-anak adalah masa depan. Mereka harus dijaga. Diberi ruang. Diberi cinta.

Saya teringat lagi kata Ki Hajar Dewantara. “Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Mungkin, tugas kita memang sesederhana itu. Menjadi penuntun. Menjadi perawat. Agar anak-anak bisa tumbuh setinggi langit. Dengan asa yang mereka ciptakan sendiri. (RR)

Editor : Ardhia

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru