Pengalaman Pelatihan Relawan di Pacet Mojokerto: Membangun Ketangguhan Mental dan Empati

Reporter : Ardhia

Peserta mengikuti games di dalam ruangan, bertujuan untuk mengolah informasi dalam kelompok. (Sumber Foto: SRK)


Tujuhpagi.com - Siang itu, udara di Pacet terasa lebih segar dari biasanya—seolah-olah alam pun ikut menyambut kedatangan kami.

Tiga puluh lima calon relawan dari berbagai penjuru komunitas berkumpul di Wisma Taman Kartini, Mojokerto, untuk satu tujuan mulia: belajar menjadi manusia yang lebih tangguh dan peduli lewat pelatihan relawan kemanusiaan.

Di bawah bendera Solidaritas Relawan Kemanusiaan (SRK) Yayasan Kasih Bangsa Surabaya (YKBS), mereka menempuh perjalanan dua setengah jam dari Surabaya, meninggalkan riuhnya kota demi mendekap ketenangan alam dan harapan baru.

Apa yang membuat seseorang rela meninggalkan kenyamanan rumah lalu memilih belajar menjadi relawan? Jawabannya sederhana, namun dalam: panggilan hati.

Bersama tim Kelompok Studi Psikologi Bencana (KSPB) Universitas Surabaya, para peserta mengikuti pelatihan bertajuk “Training For Volunteers”—sebuah upaya membangun ketangguhan mental dan kapasitas diri agar siap menghadapi bencana, baik yang datang dari luar maupun dalam diri sendiri.

Jemmy Aquariesta, staf SRK YKBS, menyampaikan dengan mata berbinar, “Kegiatan ini bukan sekadar pelatihan, tapi juga perjalanan batin. Kami ingin para relawan benar-benar paham dan siap menghadapi situasi bencana, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.”

Belajar dari Kursi Kosong dan Cerita yang Menggetarkan
Selama tiga hari, peserta disuguhi materi yang bukan hanya mengisi kepala, tapi juga menggetarkan hati. Ada pelatihan manajemen diri, pengendalian stres, hingga penguatan emosi—semua dikemas dengan pendekatan yang hangat dan personal.

⁠Fasilitator Listyo Yuwanto mendemonstrasikan metode bangku kosong (empty chair), saat sesi materi. ( Sumber Foto: SRK )

Salah satu sesi yang paling membekas adalah metode “Kursi Kosong” yang dipandu oleh Listyo Yuwanto, dosen Psikologi Ubaya. Di sini, peserta diajak berdialog dengan bayangan orang yang telah tiada, duduk di kursi seberang, seolah-olah sedang berbicara dengan kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.

“Kadang, luka lama justru membuat kita lebih kuat. Dengan metode ini, kami belajar berdamai dengan masa lalu, agar bisa melangkah lebih ringan ke masa depan,” ujar salah satu peserta dengan mata berkaca-kaca, seolah-olah ia baru saja menutup babak lama dalam novel hidupnya.

Menyatukana Perbedaan, Merajut Solidaritas
Tak hanya belajar teori, para relawan juga diajak untuk saling mengenal lebih dekat—menghapus sekat-sekat perbedaan yang selama ini mungkin tak terlihat.Mereka berbagi cerita, tawa, bahkan air mata. Di tengah udara dingin Pacet, kehangatan justru datang dari pelukan antar teman baru.

“Di sini, kami bukan sekadar relawan, tapi keluarga,” kata seorang peserta, suaranya lirih namun penuh keyakinan.

Setelah tiga hari, para calon relawan pulang dengan semangat yang membara. Mereka bukan lagi sekadar peserta pelatihan, melainkan manusia-manusia baru yang siap mengukir jejak di jalan kemanusiaan.

“Kami ingin setiap individu di sini pulang dengan hati yang lebih luas dan mental yang lebih kuat, agar bisa berkontribusi nyata dalam setiap misi sosial ke depan,” tutup Jemmy, sembari tersenyum hangat.

Mereka yang menempuh perjalanan, bukan hanya untuk menemukan dunia, tapi juga menemukan diri sendiri. Seperti kata Hemingway, “The world breaks everyone, and afterward, some are strong at the broken places.”

Di Pacet, para relawan belajar menjadi kuat di titik-titik rapuh mereka, dan dari sanalah kemanusiaan tumbuh, perlahan namun pasti. (RR)

Editor : Ardhia

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru