TUJUH PAGI - Kalau Pramoedya Ananta Toer masih hidup hari ini, mungkin dia akan tertawa. Atau malah diam. Sebab hidup memang punya selera humor yang ganjil: di saat bangsa ini sibuk memperingati 100 tahun kelahirannya, sang adik kandung, seorang doktor lulusan Rusia, masih mengais rosok di Blora.
Ya, ini bukan fiksi. Ini kenyataan. Namanya: Dr. Soesilo Toer. Umur 88 tahun. Adik kandung si pengarang besar dari Blora. Bergelar doktor ilmu politik dan ekonomi. Pernah jadi dosen. Pernah sekolah di Moskow. Tapi sekarang, lebih sering keliling Blora naik motor tua. Bukan untuk kuliah. Tapi untuk mengambil sampah.
Motor itu sudah tua, keranjangnya bolong. Tapi masih setia diajak berburu kardus, botol plastik, dan kertas-kertas bekas di pinggir-pinggir toko, pasar, dan restoran.
Salah satu sudut rumah Soesilo Toer di Blora. Penuh hasil rongsokan yang dipulung. (Foto: Julian)
"Pemulung itu rektor juga. Rektor: ngorek-ngorek yang kotor," katanya sambil tertawa, dua tahun lalu, kepada Tujuhpagi.com
Saya membayangkan, kalau seorang penulis membuat tokoh fiksi seperti ini, mungkin akan ditolak oleh penerbit. Terlalu tak masuk akal. Mana ada doktor lulusan Rusia, adik tokoh sastra nasional, jadi pemulung? Tapi Blora memang tidak butuh fiksi. Karena realitanya sudah lebih gila dari novel manapun.
Tentang PATABA
Siang itu terik di Blora. Wartawan datang ke rumah tua di Jalan Sumbawa nomor 40, Kelurahan Jetis. Di depan rumah: tumpukan sampah menggunung. Di dalam rumah: perpustakaan kecil. Namanya PATABA: Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Perpustakaan kecil dengan koleksi buku Di dalam rumah. (Foto: Julian)
Ada ratusan buku. Buku-buku karya Pram. Juga tulisan-tulisan Pak Sus begitu ia disapa. Rumah itu temboknya tebal. Jendelanya besar. Halamannya rindang. Mungkin dulunya rumah para bangsawan sastra. Tapi kini, dihuni pemulung bergelar doktor.
"Waktu itu saya pulang dari Rusia, 1973. Di bandara langsung ditangkap. Dituduh PKI. Ditahan 6 tahun. Tanpa sidang," katanya. Nada suaranya tenang. Tidak ada dendam. Tidak ada amarah. Hanya keteguhan yang anehnya, malah terasa lembut.
Dia tidak datang ke acara tahlilan G30S di Rusia. Itu cukup untuk membuatnya dicap simpatisan PKI. Apalagi adiknya Pramoedya, yang karya-karyanya dilarang, dianggap berbahaya oleh negara.
"Saya nggak datang karena nggak diundang. Tapi tetap dianggap bersalah," katanya pelan.
Pemulung dari Blora
Setelah bebas, dia pulang ke Blora. Tidak bisa lagi jadi dosen. Gelar doktornya nganggur. Maka dia memilih profesi yang tak butuh surat lamaran: pemulung.Setiap malam jam 9, ia keluar rumah. Menyisir jalanan Blora dengan motor tuanya. Terkadang hingga dini hari. Jika hujan, dia malah senang. “Kalau hujan, pemulung lain pada tidur. Saya turun. Banyak rosok yang bisa diambil,” katanya penuh semangat.
Paginya, bersama istri, ia pilah-pilah sampah. Kertas, plastik, botol. Dijual kiloan. Plastik Rp1.000/kg, kertas Rp1.400/kg, botol Rp5.000/kg.
"Ini pekerjaan yang menyelamatkan bumi," katanya bangga.
Mungkin dunia sudah terbalik. Di kota-kota besar, orang berkoar-koar soal perubahan iklim. Sambil minum kopi seharga Rp 60 ribu segelas. Tapi di Blora, seorang tua brewokan, dengan gelar doktor, tiap malam menyelamatkan bumi. Dengan motor butut dan karung rosok.
Februari 2025. Negeri ini memperingati 100 tahun kelahiran Pramoedya. Pemerintah Blora sempat berencana mengganti nama Jalan Sumbawa menjadi Jalan Pramoedya Ananta Toer. Tapi dibatalkan. Alasannya? Masih soal lama: tuduhan PKI.
Pram sudah mati sejak 2006
Pram sudah mati sejak 2006. Tapi luka masa lalu masih hidup. Seolah-olah orang seperti Pram dan adiknya adalah virus sejarah. Meski jasanya untuk sastra Indonesia sudah lebih dari cukup untuk membuat namanya diabadikan di jalan mana pun."Tak apa. Saya tak butuh nama jalan. Yang penting rumah ini tetap berdiri. Dan perpustakaan ini tetap hidup," kata Pak Sus.
Salah satu sudut rumah Soesilo Toer di Blora. (Foto: Julian)
Dalam kamus kehidupan Soesilo Toer, mungkin tak ada kata "menyerah". Dia bisa saja mengemis ke kementerian. Meminta jabatan. Minta keistimewaan. Tapi tidak. Dia memilih martabatnya sendiri: menjadi pemulung yang bebas. Tidak malu dan memelas.
Socrates berkata, kematian adalah kenikmatan abadi. Tapi bagi Soesilo Toer, kenikmatan abadi adalah saat dia menemukan tumpukan sampah besar. "Kalau dapat banyak rosok, saya bahagia," katanya.
Namanya: Dr. Soesilo Toer.
Dari rosok-rosok itu dia hidup. Dari rosok itu pula dia menjaga warisan kakaknya: kesetiaan pada kebenaran, betapa pun sepinya. Maka pada 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer ini, marilah kita tidak hanya membaca kembali karya-karyanya. Tapi juga menengok ke Blora. Ke rumah tua di Jalan Sumbawa 40. Kegiatan Soesilo Toer di sela sela rutinitas memulungnya. (Foto : Julian)
Di sana ada lelaki tua, kurus, berjenggot, yang setiap malam keliling kota. Bukan untuk menjadi besar. Tapi untuk tetap bertahan. Dan, diam-diam, menjaga martabat. Namanya: Dr. Soesilo Toer. Pemulung. Adik Pram. Sang rektor sampah. Yang mungkin, di matanya, sampah jauh lebih jujur dari manusia. (RD)
Editor : Ardhia