Wajah-Wajah Pemetik Kopi: Potret Ketekunan di Lereng Arjuna

Reporter : Robertus Riski
Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Arjuna Lestari, Hidayat, usai memetik biji kopi Arabika jenis Yellow Catura. (Sumber Foto: Robertus Riski)

TUJUHPAGI - Di balik harum secangkir kopi arabika dari lereng Gunung Arjuna, tersimpan kisah para pemetik kopi yang jarang tersorot. Pagi-pagi sekali. Udara masih dingin menusuk. Jalanan menanjak, berkelok, dan sunyi. Mereka sudah ada di kebun. Para pemetik kopi. Wajah-wajah yang mungkin tidak pernah masuk televisi. Tidak pernah viral di media sosial. Tapi tanpa mereka, siapa yang bisa menikmati kopi enak dari lereng Arjuna? Kopi dari desa Tegal kidul, Jatiarjo, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur.

Asmari (45) usai memetik biji kopi di Tegal Kidul , Jatiarjo, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. (Sumber Foto: Robertus Riski)

Adalah, Hidayat, Asmara, Mujiono, Cipto, dan Wati. Mereka adalah wajah-wajah penuh ketekunan, para petani yang setiap hari menapaki jalan terjal di antara kabut dan cemara, memetik harapan dari pohon-pohon kopi yang tumbuh di ketinggian 1.000 hingga 1.400 meter di atas permukaan laut.

Mujiono (50) usai memetik biji kopi di Tegal Kidul , Jatiarjo, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. (Sumber Foto: Robertus Riski)

Jika diamati, tangan mereka. Kasar. Hitam. Tapi cekatan. Memetik biji kopi satu per satu. Tidak boleh sembarangan. Harus merah. Harus matang. Harus sabar.

Setiap butir kopi yang dipetik bukan sekadar hasil panen, melainkan simbol perjuangan, ketahanan, dan mimpi yang terus mereka pelihara di tengah tantangan alam dan ekonomi.

Saya pertanyaan, “Kenapa tidak dipetik semua saja, biar cepat?”

Mereka tertawa. “Kalau semua dipetik, kualitasnya turun, Pak. Kopi tidak bisa bohong. Yang dipetik sembarangan, rasanya juga sembarangan.”

Cipto (60) usai memetik biji kopi di Tegal Kidul , Jatiarjo, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. (Sumber Foto: Robertus Riski)

Perbincangan dengan mereka mengajarkan sesuatu. Ternyata kopi tidak hanya soal rasa. Ada ketekunan di sana. Ada harapan yang dipetik perlahan-lahan, setiap pagi, setiap musim panen.

“Tak sekadar memetik, tapi merawat, menjaga, dan memeluk asa,” kata seorang petani. Para pemetik kopi di Tegal Kidul, Jatiarjo, Prigen, Pasuruan, tergabung dalam Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Arjuna Lestari.

Dulu, kehidupan mereka diliputi kemuraman. Kini, lewat kerja keras dan kebersamaan, mereka mengubahnya menjadi harapan baru.

Ketua  Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Arjuna Lestari, Hidayat, usai memetik biji kopi Arabika jenis Yellow Catura. (Sumber Foto: Robertus Riski)

Meski harus menghadapi cuaca tak menentu dan persaingan pasar, semangat mereka tidak pernah padam. Hasil panen tahun ini memang turun drastis akibat hujan yang datang terlalu sering, namun mereka tetap bertahan.

“Perlu perhatian khusus. Pupuk kandang. Hama. Gulma. Semua harus dijaga. Kalau tidak, panen bisa gagal,” ujar Hidayat, Ketua LPHD Arjuna Lestari.

Wati (47) saat memetik biji kopi Arabika Yellow Catura di Tegal Kidul , Jatiarjo, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. (Sumber Foto: Robertus Riski)

Di tengah tantangan regenerasi, para petani berharap generasi muda tidak malu kembali ke kebun. Anak muda maunya jadi barista.

Ya, barista memang keren. Tapi tanpa pemetik kopi, barista tidak punya bahan cerita.

Wajah-wajah pemetik kopi di lereng Arjuna adalah wajah-wajah harapan. Mereka adalah penjaga tradisi, pelestari alam, dan pejuang kehidupan yang tak pernah lelah.

Di tangan mereka, kopi bukan sekadar komoditas, tapi cerita tentang ketekunan dan masa depan yang terus disemai di tengah kabut pegunungan.

Editor : Ardhia Tap

Liputan
Berita Populer
Berita Terbaru